Sosok

Setiawan Chogah dan Jalan Sunyi Kesadaran: Teknologi, Luka, dan Kisah yang Dihidupkan

BISNIS BANTEN –  Di antara hiruk-pikuk dunia yang serba cepat, algoritma yang membentuk kebiasaan, dan ambisi digital yang sering kali kehilangan ruh, ada satu sosok yang berjalan pelan tapi pasti, menyusuri jalan sunyi bernama kesadaran.

Dialah Setiawan Chogah—penulis, editor, dan pengembara batin yang menggunakan teknologi bukan sebagai panggung pencitraan, melainkan jendela untuk menelusuri kedalaman dirinya sendiri.

Membaca Teknologi Lewat Hati

Sebagai Editor in Chief Techfin Insight, Setiawan bukan sekadar pemimpin redaksi yang menyunting paragraf dan menyusun tajuk.

Advertisement

Ia adalah arsitek wacana yang mencoba menjembatani dunia algoritma dengan nilai-nilai batin. Dalam banyak tulisannya, ia menolak melihat teknologi sebagai alat netral.

Baginya, teknologi adalah perpanjangan kesadaran manusia—ia membawa nilai, arah, bahkan bias, tergantung siapa yang mengembangkannya dan untuk tujuan apa.

Pandangan itu tidak lahir dari ruang akademik atau seminar mewah. Ia tumbuh dari pengalaman personal yang riil dan kadang getir.

Dulu, ia hanyalah seorang desainer grafis lepas yang menyambung hidup dari proyek ke proyek selama pandemi.

Advertisement

Di sanalah ia belajar bahwa teknologi bisa menyelamatkan sekaligus mengasingkan. Keheningan malam yang ditemani cahaya layar membuatnya mulai menulis—bukan untuk dikenal, tapi untuk tetap waras.

Saat Dunia Diam, Kata-kata Bicara

Titik baliknya datang bukan saat mendapat promosi atau penghargaan, tetapi saat ia berhenti melawan kesepian dan mulai mendengarkannya.

Dari momen-momen inilah lahir karya reflektifnya berjudul “Ketika Aku Berhenti Bertanya”, yang dipublikasikan di Wattpad.

Buku digital ini adalah kumpulan 13 bab pendek yang menyerupai jurnal batin—tentang kehilangan, tentang keterasingan, dan tentang upaya memahami makna hidup di tengah keheningan digital.

Alih-alih tampil bijak, Setiawan menulis dengan kejujuran polos: mengakui bahwa dirinya pun pernah limbung, bahwa kadang tak semua luka harus disembuhkan—beberapa cukup direngkuh agar kita tetap manusia.

Menjadi Manusia di Tengah Logika

Kesadaran bukanlah tema populer di dunia startup, fintech, atau teknologi. Tapi Setiawan secara konsisten menyisipkannya dalam banyak tulisannya di Techfin Insight.

Ia menulis tentang keadilan algoritmik, dampak AI terhadap pekerja rentan, hingga pentingnya empati dalam merancang produk digital.

Namun semua itu tidak ia kemas dengan bahasa teknis yang kaku, melainkan dengan narasi dan kisah yang hangat.

Ada satu kutipan yang mencerminkan filosofi hidupnya: “Jika kamu ingin membangun teknologi yang memanusiakan, kamu harus mulai dengan memanusiakan dirimu sendiri.”

Bagi Setiawan, pencapaian bukan diukur dari jumlah klik atau viralitas, tapi dari apakah sebuah tulisan—sebuah ide—mampu menyentuh dan menggugah satu jiwa saja.

Hidup dengan Cara yang Disengaja

Apa yang membuat Setiawan unik adalah caranya menjalani hidup dengan sengaja. Ia tidak terjebak dalam ekspektasi eksternal atau ambisi kosong.

Dalam podcast yang pernah ia hadiri, ia berbicara tentang pentingnya jeda. Bahwa kita perlu berhenti bukan karena lelah, tapi agar bisa melihat kembali arah.

Ia percaya bahwa hidup yang dijalani dengan sadar adalah bentuk aktivisme tersunyi—dan mungkin yang paling radikal.

Hal ini membuatnya dekat dengan filosofi hidup berkesadaran (mindful living): kesediaan untuk hadir utuh di setiap momen, memperhatikan napas, mendengar tanpa menghakimi, serta mengambil keputusan berdasarkan nilai, bukan reaktivitas.

Dalam kesehariannya, ia dikenal sebagai pribadi yang lembut tapi tajam, pendiam namun penuh kehangatan. Ia tidak banyak bicara, tapi sekali menulis—sunyi terasa bergema.

Membangun Komunitas, Bukan Sekadar Platform

Selain memimpin media teknologi, Setiawan juga aktif membangun komunitas kecil yang membahas literasi finansial, menulis kreatif, dan pertumbuhan diri.

Ia percaya bahwa ruang digital harus menjadi rumah bersama, bukan medan perang ego. Melalui Techfin Insight, ia menginisiasi beberapa forum diskusi daring dan sesi live yang lebih terasa seperti obrolan hangat di warung kopi ketimbang webinar serius.

Gaya kepemimpinannya pun unik: bukan mengatur dari atas, melainkan mendampingi dari samping. Ia lebih suka bertanya ketimbang memberi jawaban, karena baginya proses bertanya itu sendiri adalah bentuk pencarian makna.

Mengubah Luka Jadi Lentera

Satu hal yang paling menyentuh dari Setiawan Chogah adalah keberaniannya berdamai dengan luka. Ia tidak menyembunyikan bagian gelap dari hidupnya.

Justru lewat tulisan dan karyanya, ia mengajak pembaca melihat luka bukan sebagai aib, melainkan sebagai sumber cahaya.

Baginya, setiap luka mengandung pesan. Dan tugas kita bukan menyelesaikannya dengan tergesa, tapi merawatnya dengan sabar.

Inilah kenapa banyak pembaca merasa dekat dengan tulisannya—karena mereka tidak merasa diajari, melainkan dipeluk.

Refleksi Akhir: Belajar dari Setiawan

Mempelajari sosok seperti Setiawan Chogah bukan sekadar soal mengenal tokoh inspiratif, tapi juga undangan untuk merenung tentang hidup kita sendiri.

Dalam dunianya yang sunyi namun jernih, kita diajak untuk memperlambat langkah, menyelami makna, dan hidup secara utuh.

Ia mengingatkan kita bahwa kesuksesan bukan soal pencapaian luar, tapi kedamaian dalam. Bahwa teknologi bisa jadi alat perusak, tapi juga bisa menjadi jembatan menuju pemulihan.

Dan bahwa hidup tidak harus terburu-buru—kadang, justru saat kita berhenti bertanya… di sanalah jawabannya muncul.

Advertisement

Susi Kurniawati

Wartawan bisnisbanten.com
bisnisbanten.com