Info Travel

Telusur Jejak Budaya Yogyakarta, Dari Pecinan Ketandan hingga Kreativitas DAGADU

BISNISBANTEN.COM- Embun pagi disertai indahnya alam mengiringi perjalanan darat selama enam jam menuju daerah napak tilas sejarah budaya peradaban kuno Hindia-Belanda. Tiba di Stasiun penantian, tampak perbedaan arsitektur yang menjadi ciri khasnya tempat peninggalan zaman kolonial dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta, dikenal dengan bangunan candi-candinya yang mendunia dan menghasilkan kisah-kisah para tetua yang tidak punah ditelan masa.

Tak berselang lama, rombongan pekerja media mengikuti arahan panitia, bergegas menuju gedung kantor megah milik Pengawas Otoritas Jasa Keuangan yang prasastinya ditandatangani Sri Sultan Hamengkubowono, sang penguasa di daerahnya. Di dalam gedung rombongan disambut bak raja, dengan senyum ramah menyapa hingga lokasi acara yang tampaknya disiapkan secara sempurna, bersahutan dengan kedatangan para pejabat OJK yang langsung memberikan wejangan, berikut pekerja seni lokal ternama yang memberikan materi tentang sejarah budaya, dimana sejarah itu pula yang turut berkontribusi mendongkrak perekonomian masyarakat di daerah istimewa.

Jet lag perjalanan sepertinya terobati dengan pemaparan pemateri yang memberikan banyak wawasan dan pengetahuan tentang sejarah budaya dan erat kaitannya dengan jurnalisme. Berlanjut ke materi kedua, dimana rombongan kembali disajikan bahan berita utama seputar ekonomi dan pertumbuhannya. Interaktif, kata itu menggambarkan suasana selama sesi tanya jawab keduanya di segmen hari pertama, sebelum akhirnya kegiatan berlanjut dimana para awak media menuju tempat peristirahatan di sebuah penginapan mewah untuk melepas lelah.

Advertisement

Jejak Tionghoa di Balik Riuh Teras Malioboro

Teras Malioboro yang kini tampil lebih rapi dan modern menjadi salah satu magnet wisata terbesar di Yogyakarta. Kawasan belanja dan kuliner itu seolah menjadi etalase sapta pesona Kota Gudeg. Namun, hanya beberapa langkah dari keramaian itu, terdapat sebuah kampung tua yang menyimpan jejak sejarah panjang Kampoeng Ketandan.

Memasuki kawasan pecinan tersebut, suasana berubah drastis. Gang-gang sempitnya dihiasi bangunan tua, sebagian telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya. Di sepanjang lorong, toko-toko emas milik warga keturunan Tionghoa berjajar rapat, pemandangan yang telah menjadi identitas Ketandan sejak puluhan tahun silam.

“Penduduk sini separuhnya warga keturunan Tionghoa, kebanyakan sudah sepuh. Ada sekitar 50 toko emas,” kata Joko Lelono, pedagang gorengan yang juga Ketua RW setempat. Pagi itu, ia ditemui Tim Liputan Kelompok 7 sambil menyeruput kopi dan menikmati gorengan di tikar depan lapaknya.

Gerobak Joko tampak mencolok dengan tiga aksara Tionghoa 福 (fú) yang berarti rezeki, 祝福 (Zhùfú) berkah, dan 万岁 (Wànsuì) panjang umur. Ia menyebut lingkungannya nyaris tanpa catatan kriminal. “Motor ditaruh di luar juga aman. Tidak ada yang hilang,” ujar Joko dengan mimik meyakinkan.

Kampoeng Ketandan yang berada di Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan dihuni sekitar 400 kepala keluarga. Mayoritas warganya penganut Kristen Protestan. Akulturasi Tionghoa dan Jawa terasa dalam keseharian, termasuk tradisi altar keluarga di setiap rumah dan perayaan Imlek yang berlangsung rutin setiap tahun.

Di antara rumah-rumah tua itu, terdapat satu bangunan penting peninggalan Tan Jin Sing, tokoh Tionghoa berpengaruh pada awal abad ke-19. Jejak sejarah lain juga tersimpan di kampung ini. Konon katanya pernah menjadi tempat pelarian saat pecah peristiwa geger Cina di Batavia. Jejak panjang itulah yang membuat Ketandan bukan sekadar kampung tua, melainkan arsip hidup yang berdiri di balik riuh rendah Malioboro.

Pabrik Cokelat Monggo: Menakar Rantai Nilai Kakao dari Desa ke Kota

Menjelang pukul 10.00 WIB, rombongan bergerak menuju Kotagede, tempat Pabrik Cokelat Monggo berdiri. Bangunan berwarna cokelat tua itu tampak seperti rumah produksi kecil, tetapi di dalamnya proses yang berjalan jauh lebih kompleks.

Di ruang produksi, bau kakao panggang langsung menyeruak. Tim dari beberapa kelompok berdiri menyimak penjelasan Tedi, guide yang cepat akrab dengan peserta karena humble dalam penyampaiannya. “Kami bekerja sama dengan petani kakao di seluruh Indonesia,” ujarnya sambil menunjuk mesin roasting yang tengah berputar.

Ketika rombongan dipandu menyusuri jalur produksi, terlihat bagaimana cokelat itu melewati proses penyortiran, penghalusan, hingga tempering. Sembari peserta ikut mencicipi coklat yang baru selesai diroasting, kegiatan diakhiri dengan mencicipi berbagai macam olahan coklat sesuai kadarnya.

Dari ruang pengemasan, kelompok 7 mengamati penggunaan material ramah lingkungan. Kemasan kertas tebal menjadi bagian dari strategi Monggo untuk bersaing di pasar wisata dan ekspor. Kemasan yang baik itu, mengubah cara orang melihat produk UMKM.

DAGADU Dari Mata Lokal Menuju Eksistensi Ikon Fashion

Perjalanan hari itu menjelang siang berlanjut ke pusat store DAGADU dengan Guide Hamida yang memaparkan perjalanan DAGADU, Merek ini didirikan oleh 28 pebisnis pariwisata pada 9 Januari 1994, berawal dari sebuah ruko kecil sebelum menjelma menjadi jaringan store di berbagai wilayah Jogja. Perjalanan panjang itu menjadi cermin bagaimana kreativitas lokal bisa tumbuh menjadi ikon budaya populer.

Nama DAGADU yang berasal dari aksara Jawa Honocoroko dan berarti ‘matamu’ menjadi identitas yang khas: jenaka, cerdas, dan dekat dengan kultur warga Jogja. Tema besarnya dikenal sebagai ‘Smart Smile Djokdja’ yang menyoroti fenomena lokal hingga curhatan anak muda dan dituangkan dalam desain penuh karakter.

Produk DAGADU tampil dengan desain unik dan menarik, mulai dari kaos oblong, topi, tas, hingga merchandise eksklusif. Ada varian Unsoppable dan Unstoppable Legacy, dengan inspirasi cerita pewayangan sampai kisah anak rakyat. Setiap baju memiliki storytelling yang menjadi ciri khas brand ini.

Bahannya terasa dingin dan nyaman saat disentuh, kesan pertama yang langsung dirasakan anak-anak ketika mengeksplorasi showroom. Ada pula seri bertema Nusantara dengan ilustrasi fauna khas daerah, serta motif anak-anak yang ikonik. Semua produk dirancang oleh 28 tim desainer yang bekerja membuat koleksi baru setiap bulan. Tak jarang produk yang ada hari ini sudah tidak lagi diproduksi bulan depan, sebuah strategi agar tetap segar dan tidak monoton.

Ekonomi di Yogyakarta Ditopang Tangan-Tangan Kreatif

Seluruh perjalanan liputan menggambarkan bagaimana Yogyakarta menjaga identitas kulturalnya melalui tiga ruang yang berbeda, yakni Kampoeng Ketandan, Pabrik Cokelat Monggo, dan DAGADU. Masing-masing tempat menunjukkan bahwa di balik wajah wisata yang modern dan ramai, terdapat jaringan nilai sejarah, budaya, dan kreativitas lokal yang saling berkaitan.

Kampoeng Ketandan menampilkan warisan Tionghoa yang hidup berdampingan dengan budaya Jawa menjadi bukti akulturasi sekaligus memori sejarah yang terjaga meski bersebelahan dengan hiruk-pikuk Malioboro. Cokelat Monggo memperlihatkan bagaimana rantai nilai ekonomi lokal bekerja dari petani kakao di desa hingga produk yang dikemas kreatif untuk wisatawan global. Sementara DAGADU memperkuat narasi bahwa industri kreatif Yogyakarta berdiri dari perpaduan inovasi, keterampilan teknis, dan kebanggaan identitas lokal.

Penulis:
1. Nizar Solihin (i-channel)
2. ⁠Ahmad Fikram Adidikata (ROOMPI)
3. ⁠Ade Ridwan-Cipo (Bantenesia)

Advertisement
bisnisbanten.com