Ciri-Ciri Haji Mabrur
BISNISBANTEN.COM – Semua orang yang berangkat untuk menunaikan ibadah Haji, tentunya menginginkan Haji-nya menjadi Haji Mabrur, yaitu Haji yang diterima oleh Allah SWT. Haji yang sempurna adalah Haji yang memberi berkah dalam kehidupan setelah seseorang telah melaksanakan rukun islam terakhir, yaitu Haji.
Tentu saja, untuk mendàpatkan Haji Mabrur tidak begitu saja diperoleh oleh semua orang yang melaksanakan ibadah Haji. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan Haji, mulai dari persiapan, pelaksanaan, bahkan setelah ber-Haji.
Haji yang Mabrur itu dapat dilihat dari empat aspek :
1. Haji disebut Mabrur jika haji dilaksanakan dengan biaya atau uang yang halalan toyyiban
Dalam satu riwayat Nabi SAW, bersabda :
Artinya: “Apabila seseorang keluar untuk melaksanakan Haji dengan nafkah yang halal dan menapakkan kakinya di atas kendaraannya kemudian berucap : ‘Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, memangilah malaikat dari langit’ Kedatanganmu diterima dan amalmu diterima. Bekalmu halal, kendaraanmu halal dan hajimu mabrur (diterima) dan bukan palsu. Apabila seseorang keluar untuk melaksanakan haji dengan nafkah yang kotor/haram dan menapakkan kakinya di tanah kemudian berucap ‘Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, memanggilah malaikat dari langit’ Kedatanganmu ditolak dan amalmu tidak diterima, bekalmu haram dan nafkahmu haram dan Haji-mu tidak Mabrur.” (HR. Tabrani)
Oleh karena itu, siapapun yang akan menunaikan ibadah haji harus memastikan 100 persen uang
yang dipakai membiayai perjalanan Haji semuanya berasal dari harta yang halal.
2. Memiliki jiwa kepedulian sosial tinggi terhadap orang sekitar
Dalam riwayat sebelumnya dikatakan, Haji Mabrur adalah memberikan makanan. Untuk itu? dapat diartikan seseorang yang menjadi Haji Mabrur memiliki kepedulian sosial yang tinggi, salah satunya memberikan makanan kepada orang orang yang membutuhkan.
3. Haji Mabrur adalah Haji yang tidak ada dosa selama pelaksanaannya syarat dan rukunnya terpenuhi
Ketika Rasulullah SAW menyebutkan bahwa:
“Haji yang Mabrur itu tiada balasannya kecuali surga,” para sahabat bertanya: Bagaimana cara me-Mabrurkan Haji? Nabi bersabda: “Memberi makan, menjaga (memperbaiki) perkataan, dan menyebarkan salam,” (HR. Tabrani)
Allah berfirman :
Artinya : (Musim) Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats (berkata, keji, kotor, cabul), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan Haji. (Al Baqarah: 197)
Nabi SAW juga bersabda:
Artinya: “Barang siapa yang ber-Haji kemudian tidak berkata-kata keji, tidak berbuat fasik, dia akan keluar dari dosa-dosanya seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa).” (HR. Tirmidzi).
Maka ketika seseorang melaksanakan ibadah Haji dia harus menjaga prilaku, terutama lidahnya dari semua yang diharamkan oleh Allah SWT.
4. Haji Mabrur adalah haji yang disempurnakan rukun, wajib, syarat, dan sunnatnya dan pada saat yang sama menyelami hikmah yang terkandung di dalam setiap amalan Haji secara lahir dan batin.
Menurut Ali Zainal Abidin, Haji yang sempurna -Mabrur adalah Haji yang secara lahir sempurna juga secara hikmah, aspek batin dan hakikat sempurna pula. Tersebutlah Al Imam Asy-Syibli, seorang murid Imam Ali Zainal ‘Abidin. Setelah selesai menunaikan ibadah ibadah Haji, ia segera menemui Ali untuk menyampaikan pengalaman Haji-nya. Terjadilah percakapan panjang di antara mereka berdua.
“Wahai Syibli, bukankah engkau telah selesai menunaikan ibadah Haji?,” tanya Ali. Ia menjawab, “Benar, wahai Guru,”
Selanjutnya, Ali bertanya, “Apakah engkau menyentuh Hajar Aswad dan shalat di Maqam Ibrahim?,”
Dijawabnya, “Benar,”
Mendengar jawaban itu, Ali Zainal ‘Abidin menangis, seraya berucap. “Oooh, barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan ia berjabat tangan dengan Allah. Maka ingatlah, janganlah sekali-kali engkau menghancurkan kemuliaan yang telah diraih, serta membatalkan kehormatanmu dengan aneka dosa!,”
Zainal Abidin bertanya lagi: “Apakah engkau telah Wukuf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta memanjatkan do’a-do’a di bukit Shakhraat?,”
“Benar, seperti itu,”
“Ketika Wukuf di Arafah, apakah engkau menghayati kebesaran Allah, serta berniat mendalami ilmu yang dapat mengantarkanmu kepadaNya? Apakah ketika itu engkau merasakan kedekatan yang demikian dekat denganmu? Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah engkau mendambakan Rahmat Allah bagi setiap Mukmin? Ketika berada di Wadi Namirah, apakah engkau berketetapan hati untuk tidak meng-amar-kan yang ma’ruf, sebelum engkau meng-amar-kannya pada dirimu sendiri? Serta tidak melarang seseorang melakukan sesuatu sebelum engkau melarang diri sendiri? Ketika berada di antara bukit-bukit sana, apakah engkau sadar bahwa tempat itu akan menjadi saksi segala perbuatanmu?,”
“Tidak,” Jawab As Syibli
“Kalau begitu, engkau tidak wukuf di Arafah, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, tidak pula berdo’a di sana!,”
Ali Zainal ‘Abidin melanjutkan, “Ketika engkau sampai di Mina, apakah engkau yakin telah sampai ditujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu? Ketika melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi iblis, musuh besarmu? Ketika mencukur rambut (Tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur segala kenistaan? Ketika shalat di Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dari-Nya semata? Ketika memotong hewan kurban, apakah engkau bertekad untuk memotong urat ketamakan; serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi Allah? Ketika kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf Ifadhah, apakah engkau meniatkannya untuk berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali dan berserah kepada-Nya?,”
Dengan gemetar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru,”
“Sungguh, engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak bertahallul, tidak menyembelih kurban, tidak manasik, tidak shalat di Masjid Khaif, tidak Thawaf Ifadhah, tidak pula mendekat kepada Allah! Kembalilah, kembalilah! Sesungguhnya engkau belum menunaikan Hajimu!,”
Asy-Syibli menangis tersedu, menyesali ibadah Haji yang telah dilakukannya. Sejak itu, ia giat memperdalam ilmunya, serta berdoa semoga tahun berikutnya ia kembali ber-Haji dengan ma’rifat serta keyakinan penuh.
Penggalan kisah Ali Zainal Abidin (cicit Rasulullah SAW) dan muridnya As-Syibli tadi menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan aspek penghayatan, hikmah, dan pilosofi setiap amalan ibadah Haji untuk menggapai Haji yang mabrur. Jadi, bukan sekedar amalan lahirnya saja yang diperhatikan, akan tetapi penghayatan hakikatnya sangat ditekankan pula.
Semoga, semua jemaah Haji yang ber-Haji tahun ini selamat dalam perjalannya, sehat wal afiat sampai ke tanah suci, serta mampu menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah Haji dengan sebaik-baiknya, mengetahui hakikat dan makrifat amalan-amalan Haji sebagaimana yang disebutkan Ali Zainal Abidin kepada muridnya As Syibli.
Semoga jamaah Haji kembali kepada keluarganya dengan selamat, sehat wal afiat dengan membawa Haji yang mabrur.
Dan bagi kita yang belum berangkat tahun ini, diberi rezki yang lapang, umur panjang, dan kesehatan lahir dan batin sehingga mampu menunaikan ibadah Haji di tahun-tahun yang akan datang “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak,”
Wallahul muwaffiq ila aqwamit thoriq
Kota Serang, 27 Juni 2023. bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1444H.
Ustadz H Dedi S Al Ghifary, S.Pd.I
Pimpinan MT An Nahl Cendekia dan Praktisi Dakwah Kota Serang