Regulasi

Polemik Logo Halal Baru, Tujuannya Apa Sebenarnya?

BISNISBANTEN.COM – Geger penggantian logo halal beberapa waktu lalu, menyisakan tanda tanya, apa tujuan logo halal dan siapa yang memiliki kewenangan mengeluarkan label halal?

Santernya kejadian logo halal ini menyeret nama Gus Miftah yang diduga membantu mengubah logo halal baru yang mirip gunungan wayang.

Logo halal baru yang dirilis Kemenag ini sama sekali berbeda dari versi MUI. Perilisan ini rupanya menuai kontroversi. Mengetahui tudingan itu, Gus Miftah langsung memberikan respons lewat unggahan dalam media sosialnya.

Advertisement

Alih-alih membalas dengan cibiran, Gus Miftah memberikan reaksi menohok dengan mendoakan pihak yang menudingnya terlibat dalam penggantian logo halal MUI.

Sekadar tahu, tujuan Logo sertifikat halal MUI adalah memberi perlindungan dan kepastian hukum hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal. Tujuan lain, mencegah konsumen muslim mengonsumsi produk yang tidak halal.

Mengenai logo halal baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, tidak ada yang salah dengan penetapan logo halal anyar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).

“Label halal ini wilayah administrasi negara. Karenanya, itu domain negara. Dan itu sudah ajeg seperti itu, baik sebelum dan setelah adanya Undang-undang JPH (Jaminan Produk Halal),” kata Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, dalam jumpa pers di kantor pusat MUI, Jumat (18/3/2022) lalu.

Advertisement

Undang-undang tentang JPH diterbitkan pada 2014. Undang-undang ini mendasari didirikannya BPJPH. Beleid yang sama juga memberi wewenang bagi BPJPH menetapkan logo halal.

Ni’am menjelaskan, dari riwayat kesejahteraannya, logo halal juga tak pernah menjadi domain MUI. Ia menambahkan, MUI cukup berperan dalam pemfatwaan dan penerbitan sertifikasi halal.

Sebelumnya Undang-undang JPH, itu (logo halal) kewenangannya di Kemenkes dan BPOM, di mana label halal itu jadi label pangan yang jadi domain BPOM didasarkan Undang-undang tentang Pangan, di mana harus memuat keterangan halal,” ungkap Ni’am.

“BPOM membangun kesepahaman bahwa bentuk keterangan halal itu mengikuti MUI. BPOM memberikan delegasi sebagaimana MoU (nota kesepahaman) dengan MUI ,” lanjutnya.

Setelah Undang-undang JPH terbit, MUI praktis hanya bertanggung jawab dalam fatwa halal.

“Jadi intinya, perpindahan kewenangan label halal ini bukan dari MUI ke BPJPH, tetapi dari BPOM ke BPJPH. Memang kewenangannya (BPJPH menetapkan logo halal),” ujar Ni’am.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal pada BPJPH, Mastuki, juga mengatakan hal serupa. Ia menegaskan, dalam hal penetapan logo halal, pihaknya tidak mengambil alih kewenangan MUI.

“Masalah label halal tidak ada peralihan dari MUI ke BPJPH. Tidak ada isu peralihan, yang ada adalah interdependensi atau saling ketergantungan,” ucap Mastuki dalam kesempatan yang sama.

“BPJPH menerima tugasnya, dilanjutkan oleh LPH (lembaga pemeriksa halal) melakukan pemeriksaan jika ada yang mendaftar di BPJPH. Begitu juga MUI tidak bisa sidang fatwa kalau tidak ada bahannya dari LPH. BPJPH tidak bisa menerbitkan sertifikat halal kalau tidak ada fatwa halal dari MUI,” ujar dia. (Hilal)

Advertisement

Hilal Ahmad

Pembaca buku-buku Tereliye yang doyan traveling, pemerhati dunia remaja yang jadi penanggung jawab Zetizen Banten. Bergelut di dunia jurnalistik sejak 2006.
bisnisbanten.com