Mengenang Masa Kejayaan di Puing Puing Surosowan
BISNISBANTEN.COM – Kawasan Banten Lama menyimpan banyak kenangan kejayaan masa kesultanan. Meski sebagian besar hanya tinggal puing-puing dan reruntuhan, namun menjadi saksi bisu untuk generasi masa kini tentang cerita yang berpengaruh untuk masa depan.
Salah satu saksi bisu kejayaan Kesultanan Banten antara lain Surosowan. Keraton di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang ini diperkirakan dibangun pada abad ke-17. Tempat ini bukanlah tempat tinggal sultan pertama didirikan di Banten. Tempat tinggal Sultan Banten yang pertama diperkirakan di dekat Karangantu.
Surosowan diperkirakan dibangun antara 1526-1570 saat Pemerintahan Sultan Banten pertama yaitu Sultan Maulana Hasanudin.
Pembangunan keraton ini bermula saat Sunan Gunung Jati, yang berhasil merebut Banten bersama pasukan dari Demak, menyerahkan pemerintahan kepada putranya, Maulana Hasanuddin.
Bangunan ini dulunya menjadi tempat tinggal sultan beserta keluarga dan pengikutnya. Fungsi Surosowan lainnya adalah sebagai pusat kerajaan dalam menjalankan pemerintahan. Sayangnya, bangunan yang pernah menjadi saksi kejayaan Kerajaan Banten ini kondisinya tidak utuh lagi.
Dinding Surosowan tingginya diperkirakan sekitar dua meter, lebar lima meter. Panjang pada bagian Timur-Barat adalah 300 M, sedangkan pada bagian Utara-Selatan adalah 100 meter. Luas keseluruhan yang dibentengi adalah sekitar 3 hektar. Di setiap sudutnya terdapat bastion yang berbentuk intan, dan di tengah dinding Utara dan Selatan terdapat proyeksi setengah lingkaran.
Benteng ini seluruhnya dibuat dari bata, tetapi bata-bata ini memiliki tipe berbeda, menurut ukuran, bahan dan teknik pembuatan. Beberapa type adonan juga digunakan seperti tanah liat, campuran pasir dan kapur. Dinding itu tidak kokoh, sehingga di antara dinding diisi dengan tanah.
Benteng Surosowan dibangun dalam beberapa tahap. Pada fase pembangun awal, dinding yang dibuat tanpa bastion dan dibangun dari susunan bata berukuran besar dicampur tanah liat atau lempung ini mengelilingi keraton 100-125 meter. Pada fase ini termasuk penataan dinding paling luar, mungkin terjadi pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570 M).
Pada fase kedua pembangunan didirikan bastion dan dinding bagian dalam yang berfungsi sebagai penahan tembakan, panahan api, atau pembakaran. Jadi, antara fase pertama dan kedua terjadi perubahan fungsi dinding. Semula sebagai tembok keliling lalu menjadi tembok pertahanan dengan unsur-unsur Eropa. Perubahan ini terjadi pada 1680 M, dengan bantuan Chardeel. Setelah masa ini, Surosowan disebut sebagai Fort Diamant atau benteng intan oleh pihak Belanda.
Pada fase selanjutnya, pendirian ruang-ruang di sepanjang dinding utara, penambahan lantai untuk mencapai dinding penahan tembakan atau parapet.
Pada fase keempat dilakukan perubahan pada gerbang utara dan diperkirakan juga pada gerbang timur. Pada lapis luar dinding bata dilapis secara merata dengan mengunakan karang.
Pada fase pembangunan yang terakhir, yaitu kelima, terjadi penambahan banyak kamar di bagian dalam dan penyempurnaan isian dinding.
Meski melewati fase pembangunan hingga lima kali, namun Benteng Surosowan ini mengalami penghancuran beberapa kali. Kehancuran total pertama kali terjadi saat perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putra mahkota Sultan Haji yang dibantu VOC pada 1680. Pada era ini Surosowan dibumihanguskan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebelum melanjutkan perlawanan dari Tirtayasa.
Setelah Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten sebagai pengganti ayahnya, ia meminta bantuan arsitek Belanda, Hendrik Laurenzns Cardeel, untuk membangun kembali keratonnya. Cardeel pun meratakan dan kemudian membangun kembali keraton di atas puing-puing reruntuhan. Atas jasanya ini ia diberi gelar oleh Sultan dengan nama Pangeran Wiraguna.
Kehancuran kedua yakni pada 1808. Surosowan dihancurkan Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral VOC Herman William Daendels.
Serangan ini terjadi karena pihak Kesultanan Banten menolak tiga permintaan Belanda melalui Komondeur Philip Pieter du Puy, utusan Gubernur Jenderal Daendels. Yaitu :
– Sultan harus mengirimkan 1.000 orang rakyat setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.
– Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia
– Sultan harus memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena Surosowan akan dijadikan benteng Belanda.
Kesultanan Banten dengan tegas menolak dan membunuh Du Puy beserta pasukannya. Gubernur Jendral Daendels langsung memerintahkan pasukannya menyerang dan menghancurkan Surosowan tepat pada 21 November 1808.
Sekarang Keraton Surosowan hanya berupa puing-puing reruntuhan, pondasi ruangan-ruangan berbentuk segi empat, dan kolam karena dihancurkan oleh Belanda pada 1813. Keraton ini kemudian ditingalkan penghuninya.
Pasca kemerdekaan, perbaikan Surosowan dilakukan beberapa kali perbaikan, antara lain pada 1977/1978-1987/1988. Pemugaran dilakukan oleh Proyek Sasana Budaya dan Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banten.
Pada mulanya Benteng Surosowan memiliki 3 pintu gerbang, yaitu pintu utara, timur, dan selatan. Gerbang timur dan utara dibuat dalam bentuk lengkung, ini bertujuan mencegah tembakan langsung pada portal bila pintu gerbang dibuka. Kedua gerbang dibuat dengan atap setengah silinder. Di luar benteng dibuat sungai buatan yang menyatu dengan Sungai Cibanten.
Bangunan Surosowan memiliki kemiripan dengan benteng kolonial. Pada bagian luarnya dikelilingi dinding berbentuk benteng setinggi 7,25 meter dan bastion, yang digunakan untuk memantau kondisi di sekitar keraton. Bastion keraton ini berjumlah empat, dan di antara bastion tersebut terdapat bangunan melengkung.
Surosowan memiliki beberapa pintu masuk, tetapi saat ini hanya tersisa dua pintu saja yang terletak di bagian utara dan timur.
Pada bagian tengahnya terdapat bekas pemandian sultan dan beberapa kolam lainnya yang disebut Rara Denok dan Pancuran Mas. Sumber air pemandian dari suatu tempat bernama Tasikardi, atau danau buatan yang terletak di sebelah selatan keraton.
Saat ini, sebagian besar sisa-sisa bangunan Keraton Surosowan telah terpendam di dalam tanah. Sisa-sisa bangunan yang masih dapat dilihat setelah dilakukan pemugaran antara lain tembok keliling, struktur pondasi bangunan, struktur lantai, saluran air, kolam pemandian. (Hilal)