Sekilas Pandang Kelola Aset Tetap yang Akuntabel dan Optimal
BISNISBANTEN.COM — Nilai Aset Tetap Konsolidasian pada Neraca Audited Banten tahun 2020 mengalami kenaikan cukup signifikan yaitu sebesar Rp128,35 triliun atau naik 125 persen dibanding tahun 2019. Dilihat dari raihan opini WTP atas LKPD se Provinsi Banten, selama 4 tahun terakhir keseluruhan 9 Pemda berhasil mempertahankan opini WTP. Hal ini karena kesungguhan Pemda yang terus menerus memperbaiki kualitas laporan dan pengelolaan keuangan daerahnya. 8 dari 9 (atau 89 persen) Pemda lingkup Banten telah berhasil mempertahankan opini WTP minimal 5 Tahun berturut-turut, dan berhak mendapatkan Plakat Apresiasi berwarna biru pada agenda tahunan Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2021 yang diserahkan oleh Menteri Keuangan pada bulan September lalu, dan dari 8 Pemda tersebut, 3 diantaranya yaitu Pemkot Tangerang, Pemkab Tangerang, dan Pemkab Serang berhasil memperoleh Plakat Silver atas capaiannya mempertahankan opini WTP minimal 10 tahun berturut-turut.
Akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi keuangan Pemerintah dapat diukur melalui opini atas laporan keuangan hasil audit yang dilakukan oleh BPK, yaitu Opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP), Tidak Wajar (TW), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan yang terbaik adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Semakin baik opini atas suatu laporan keuangan menunjukkan semakin baiknya kualitas penyelenggaraan pengelolaan keuangan.
Nilai Aset Tetap yang dikelola Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai bagian dari Barang Milik Negara (BMN) dan Barang Milik Daerah (BMD) pada Neraca Konsolidasian Banten Tahun 2020 sangat signifikan yaitu lebih dari 90 persen dari total aset yang dimiliki. Oleh karena nilainya yang lebih besar dibanding aset lainnya, maka pengelolaan aset tidak bisa dipandang sebelah mata. Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan aset tetap negara harus handal untuk mencegah penyimpangan yang dapat merugikan negara.
Pengendalian atas pengelolaan Aset Tetap dinilai kurang memadai dan berdampak pada ketidakakuratan saldo BMN. Lemahnya pengendalian tersebut menyebabkan permasalahan berulang di antaranya adanya pencatatan Aset Tetap yang tidak tertib, Aset Tetap tidak diketahui keberadaannya, dan Aset Tetap dikuasai/dipergunakan pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan BMN. Berdasarkan temuan tersebut, BPK merekomendasikan untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan atas kepatuhan penatausahaan Aset Tetap dan meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk melakukan pengawasan efektivitas pengelolaan BMN/BMD agar tidak terjadi permasalahan berulang. Kondisi tersebut di atas menuntut adanya perubahan dan upaya perbaikan yang konsisten dalam pengelolaan Aset Tetap. Selain itu, perlu adanya pengelolaan dan pemanfaatan secara lebih optimal, efektif, dan efisien.
Penyajian Aset Tetap dalam Laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah berupa LKPP dan LKPD disusun sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) yang dikeluarkan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dan Buletin Teknis SAP No. 15 tentang Akuntansi Aset Tetap. LKPP dan LKPD tersebut selanjutnya diperiksa oleh BPK bertujuan untuk memberikan keyakinan tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. BPK diberi kewenangan untuk memndapatkan data, dokumen, keterangan dan memeriksa secara fisik setiap aset milik pemerintah pusat dan Pemerintah Derah.
Berdasarkan PSAP 07 klasifikasi Aset tetap meliputi Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan bangunan, Jalan, irigasi dan jaringan, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi dalam Pengerjaan. Kriteria suatu aset diakui sebagai aset tetap yaitu berwujud, mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan, biaya perolehan aset dapat diukur secara andal, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas, dan diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan. Penilaian awal aset tetap harus diukur berdasarkan biaya perolehan. Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa nilai, biaya aset tersebut adalah sebesar nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh. Beberapa ketentuan dalam PSAP 07 tentang aset tetap yang perlu diketahui antara lain :
- Aset tetap dapat diperoleh melalui pertukaran atas suatu aset yang serupa yang memiliki manfaat dan nilai wajar yang serupa. Dalam keadaan tersebut tidak ada keuntungan dan kerugian yang diakui dalam transaksi ini.
- Penilaian kembali atau revaluasi aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena SAP menganut penilaian aset berdasarkan biaya perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah yang berlaku secara nasional. Selisih antara nilai revaluasi dengan nilai tercatat dibukukan dalam akun ekuitas.
- Aset tetap yang diperoleh dari sumbangan (donasi) harus dicatat sebesar nilai wajar pada saat perolehan. Perolehan suatu aset tetap yang memenuhi kriteria perolehan aset donasi, diakui sebagai pendapatan operasional.
- Aset bersejarah merupakan aset tetap yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah yang karena umur dan aset tersebut harus dilindungi oleh peraturan yang berlaku dari segala macam tindakan yang dapat merusak. Aset bersejarah diungkapkan dalam CaLK tanpa nilai. Beberapa aset bersejarah juga memberikan potensi manfaat lainnya kepada pemerintah selain nilai sejarahnya, misalnya untuk ruang perkantoran.
- Aset tetap yang dihentikan dari penggunaan aktif pemerintah, tidak memenuhi definisi aset tetap dan harus dipindahkan ke pos aset lainnya sesuai dengan nilai tercatatnya. Suatu aset tetap dieliminasi dari neraca ketika dilepaskan atau bila aset secara permanen dihentikan penggunaannya dan tidak ada manfaat ekonomi masa yang akan datang. Aset tetap yang secara permanen dihentikan atau dilepas harus dieliminasi dari Neraca dan diungkapkan dalam CaLK.
Tantangan pemanfaatan BMN ke depan tidak hanya untuk memperbanyak objek BMN secara kuantitas, namun bagaimana objek BMN dapat dikelola dengan lebih berdaya guna dan transparan serta memberikan andil terhadap penerimaan negara. Adanya peningkatan pengajuan usulan pemanfaatan sebagai konsekuensi “kemudahan” dan relaksasi besaran sewa harus direspons dengan cepat, baik dari Pengguna Barang (satker pengelola BMN) maupun Pengelola Barang (Kemenkeu Cq. DJKN). Sejalan dengan hal tersebut, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2020 (PP 28/2020) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Pokok-pokok perubahan yang terdapat dalam PP 28/2020 di antaranya pengaturan mengenai pemindahtanganan, pemanfaatan, dan penilaian BMN. Istilah baru dari sisi pemanfaatan BMN yaitu kerja sama terbatas untuk pembiayaan infrastruktur. Dengan adanya kerja sama tersebut BMN dapat termanfaatkan dengan optimal untuk meningkatkan fungsi operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur. Pemanfaatan BMN merupakan salah satu tahapan dalam siklus pengelolaan BMN yang dimaksudkan untuk mendayagunakan BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi K/L dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikannya.
Pemanfaatan BMN merupakan upaya mengoptimalkan BMN yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi serta mencegah BMN digunakan pihak ketiga secara illegal. Optimalisasi BMN dilaksanakan dalam rangka memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Seiring dengan semangat optimalisasi pemanfaatan BMN, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara, sejak 31 Agustus 2020 telah dilakukan penyempurnaan regulasi. Perbaikan tersebut berupa perbaikan tata kelola dan simplifikasi pemanfaatan BMN. Regulasi ini sekaligus menjawab dan mengatur secara lebih tegas dan rinci perihal implementasi pemanfaatan BMN sehingga diharapkan tidak lagi terdapat penafsiran ganda dan keraguan bagi para pengelola BMN. PMK ini mengatur enam skema pemanfaatan BMN, yaitu Sewa, Pinjam Pakai, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG), Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI), dan Kerja Sama Terbatas untuk Penyediaan Infrastruktur (Ketupi). Kiranya pengelolaan BMN bisa dijadikan branchmarking dalam pengelolaan BMD pada Pemerintah Daerah.
Penggunaan teknologi informasi dalam bentuk sistem aplikasi (software) yang terintegrasi agar segera implementasikan guna mempercepat proses persetujuan pemanfaatan BMN. Lebih lanjut, pemanfaatan digital platform dalam bentuk website, media sosial, dan lain sebagainya yang sifatnya terdigitalisasi dapat terus dikembangkan dan disempurnakan untuk mempermudah dan mempersingkat alur proses pemanfaatan BMN serta dapat meningkatkan transparansi pengelolaan BMN.
Kementerian Keuangan selaku Pengelola Barang yang sekaligus merupakan “koordinator” Kuasa Pengguna Barang K/L dituntut untuk terus berupaya menjadikan seluruh aset pemerintah terutilisasi secara maksimal dan efektif tanpa meninggalkan prinsip good corporate governance.