”Peran Pendidikan Karakter Basic Pesantren Dalam Menjawab Tantangan Jaman” Oleh : M. Fathurrahman Al-Arbi
BISNISBANTEN.COM — Dinamika perkembangan pendidikan di Indonesia selalu diwarnai penuh dengan berbagai problematika laten yang sampai sekarang terus menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini. Problematika tersebut terkait dengan sistem pendidikan, kurikulum, kualitas lulusan, profesinoalitas, kesejahteraan dan integritas pendidik, infrastruktur, biaya, dan akuntabilitas lembaga serta pengelola pendidikan. Selain problematika tersebut, dunia pendidikan Indonesia juga sering dihadapkan dengan permasalahan dekadensi moral yang melanda peserta didik. Nilai-nilai luhur bangsa seperti kesopanan, keramahan, tenggang rasa, rendah hati, suka menolong, solidaritas dan sebagainya semakin memudar di kalangan generasi muda terkhusus di Indonesia.
Kondisi ini semakin diperparah oleh keadaan lingkungan sosial yang tidak lagi representatif sebagai tempat belajar bagi mereka. Hilangnya keteladanan pemimpin, sering terjadinya pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, dan larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara adalah sederet fenomena yang akrab di telinga generasi muda saat ini. Terjadinya krisis moral sosial tersebut sebagian bersumber dari masih kurang optimalnya lembaga pendidikan dalam membentuk kepribadian peserta didik. Lembaga pendidikan kita dinilai terlalu memberikan porsi yang sangat besar untuk transmisi pengetahuan, namun kurang. Bahkan melupakan pengembangan sikap, nilai dan perilaku dalam implementasi pembelajaran serta dimensi sikap juga tidak menjadi komponen penting dalam proses evaluasi pendidikan.
Hal demikian terjadi karena model penilaian yang berlaku untuk beberapa mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga menjadikan nilai selama ini hanya mengukur kemampuan kognitif peserta didik. Pondok pesantren mempunyai cara tersendiri dalam mengajarkan moral, adab, perilaku dan sopan santun terhadap santrinya. Pondok pesantren mengatur tata aturan tentang bagaimana adab dan sopan santun seorang santri terhadap guru, santri terhadap santri lainya, santri terhadap keluarga sang guru,dan juga kepada orang tua bahkan masyarakat. Pondok pesantren juga mengatur tentang adab seorang pelajar dengan buku-buku pelajaran atau kitab-kitabnya, bagaimana memulyakan dan menghormati seorang guru, teman serta kitabnya. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak hanya mendidik para santri tentang pemahaman ilmu agama, melainkan juga membekalinya dengan akhlak yang menjadi karakter khas dari seorang santri.
Karena itu, tidak berlebihan ketika pesantren dikatakan sebagai sumber pendidikan karakter untuk menjawab persoalan social serta tantangan jaman. Kasus yang banyak terjadi pada siswa ialah karena kurangnya pendidikan karakter dalam diri siswa. Sehingga institusi pesantren ketika ada seorang santri yang pertama masuk bukan langsung dididik dengan ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu nahwu, sorof, balaghoh, mantiq dan bayan tetapi para santri terlebih dahulu diajari adab sopan santun dan ketakdziman terhadap sang kiai, oleh karena itu biasanya kitab yang pertama kali adalah kitab Ta’lim al-Muta’alim dalam kitab tersebut memuat tentang adab seorang santri ketika belajar.
Ada tiga penyakit besar masyarakat modern, yaitu: materialisme, hedonisme dan individualisme. Gaya kehidupan individualis menciptakan masyarakat egois yang mementingkan kehidupan pribadi di atas kepentingan yang berdasarkan umum. Gaya hidup hidonis membuat penyakit HIV/AID semakin merebak. Sementara gaya hidup meterialis menjadikan seseorang memaknai hidup. Kepemimpinan, latihan menyelesaikan problem, dan berbicara di depan umum. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter dan mental adalah mujahadah, istighatsah dan amalan amalan lainnya. berorentasi pada materi semata. Manusia modern hidup di tengahtengah peradaban mutakhir yang ditandai dengan kecanggihan teknologi serta informasi.
Kecepatan arus informasi menawarkan dunia baru yang memungkinkan terciptanya komunikasi bebas antar orang serta kelompok melalui media audio visual seperti HP dan Internet. Fenomena modern yang terjadi dari awal melenium ketiga ini popular dengan sebutan Era globalisasi. Era ini menciptakan dunia terasa semakin sempit tetapi memaknai kehidupan semakin luas adanya. Bumi yang sebelumnya terasa begitu luas dan menyulitkan komunikasi jarak jauh antar negara maupun benua terasa sangat sempit dengan lahirnya teknologi informasi yang menjadi fasilitas pertautan budaya antar negara, transformasi nilai, dan transfer gaya hidup.
Sehingga, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui media audio dan visual di era ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap pembentukan mind set, sikap, perilaku dan gaya hidup masyarakat. Hamilton mengatakan, ”Millenial movements may be fantastical in their ideas and out look but they do create the concept of change in cultures that had never before looked at the world as changing and changeable.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa gerakan perubahan telah banyak menciptakan perubahan dalam budaya. Sementara kita tidak pernah membayangkan bagaimana sebelumnya bahwa dunia ini dapat berubah. Tentunya, perubahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut banyak memberikan dampak negatif terhadap kehidupan sosial, agama, dan budaya masyarakat. Kecanggihan teknologi mendatangkan budaya asing dan menggeser budaya lokal, sehingga ajaran agama yang sudah tertanam kuat, bahkan menciptakan masyarakat amoral yang merusak tatanan sosial yang sudah tertata dengan rapi.
Dasar Pendidikan Karakter
Kata “pendidikan” dalam segi bahasa Yunani dikenal dengan nama paedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi dikenal dengan educare artinya membawa keluar. Bahasa Belanda menyebut istilah pendidikan dengan nama opvoeden yang berarti membesarkan atau mendewasakan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah educate/education yang berarti to give and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.
Pendidikan dalam pengertian umum yaitu proses transmisi pengetahuan dari satu orang kepada orang lainnya atau dari satu generasi kegenerasilainnya, dan berlangsung seumur hidup, selama manusia masih di muka bumi maka pendidikan akan terus berlangsung. Sedangkan karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pengertian pendidikan karakter merupakan suatu usaha manusia secara sadar dan terencana untuk mendidik dan memberdayakan potensi peserta didik guna membangun karakter pribadinya sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter tertentu pada peserta didik yang di dalamnya terdapat beberapa komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut.
Pendidikan karakter Menurut Prof. H. Pramula Mahrus Razzan, Lc, M.Sc, M.Th, Ph.D Pendidikan Karakter adalah suatu ilmu pengetahuan yang berfungsi memperbaiki karakter manusia yang perlu ditanamkan sejak dini guna mencetak generasi berakhlak dan bermoral Pancasila yang masih dalam lingkup Revolusi Mental. Perlu ada format baru pendidikan dunia Islam untuk membentuk karakter paripurna/kamil peserta didik. Dimana tolak ukur utamanya ialah nilai yang bersumber dari nilai-nilai agama, dimana untuk menumbuhkan karakter yang kuat pada peserta didik, maka model yang ideal adalah kepribdian Nabi Muhammad Rasulullah SAW, kemudian diambil dari budaya lokal dan dipadukan sebagai kurikulum berbasis karakter, dalam artian nilai-nilai yang terwujud sebagai akhlakul karimah/mahmudah dalam bersosial, itulah yang disepakati sebagai karakter yang sudah mentradisi dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
Pendidikan Islam sesungguhnya bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi seluruh aspek kemampuan/potensi yang telah dimiliki oleh manusia (dalam hal ini peserta didik), baik aspek kognitif, efektif, maupun afektif. Tujuan pendidikan ternyata memiliki beberapa kolerasi dengan tiga konsep fundamental dalam Islam, yaitu; Iman, Ihsan dan Islam.
Pertama, Iman-Kognitif, artinya; Islam yang mengajarkan setiap muslim agar memiliki pengetahuan untuk meyakini sesuatu. Islam melarang umatnya mempercayai sesuatu tanpa pengetahuan yang benar dan dari sumber yang dapat dipercaya. Islam mengajarkan bahwa setiap aktivitas manusia sebagai perwujudan pengabdian kepada Allah SWT, haruslah dilandasi dengan pengetahuan yang benar dan dari sumber yang akurat. Oleh sebab itu pendidikan dalam dunia Islam diarahkan untuk mengembangkan daya nalar yang dituntun oleh nilai-nilai tauhid.
Pengenalan pertama dimulai dengan mengenal Tuhan melalui nama dan sifat-Nya. Daya nalar ini berguna bagi manusia untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Daya nalar yang benar dan murni tidaklah bertentangan dengan konsep al-Quran. Kedua, komposisi Ihsan yang afektif, dapat dipahami dengan melihat bahwa dalam pengembangkan unsur Ihsan dalam pribadi muslim menggunakan daya imajinasi yang tertuntun oleh nilai-nilai tauhid. Pribadi muslim dapat merasakan kehadiran Allah SWT, melalui penghayatan yang diperolehnya dari kerja intuisi di dalam dirinya. Sehingga, seluruh dorongan serta perasaan yang ada didalam dirinya tertuntun oleh adab-adab yang dibolehkan dan diatur dalam al-Quran. Sementara, pada nilai-nilai afektif yang dikembangkan dari psikologi pendidikan Barat itu, baru ada sampai pada tatanan kemanusiaannya saja.
Nilai, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter di dalam Pondok Pesantren menurut Ratna Megawangi (2007), ada sembilan nilai karakter yang layak diajarkan kepada peserta didik (santri) dalam konteks pendidikan karakter, yakni, (1) inta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty). (2) Kemandirian dan tanggungjawab (responsibility, excellence, self-reliance, discipline). (3) kejujuran dan amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty); (4)hormat dan santun (respect, courtesy, obedience), (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation) (6) percaya diri, kreatif, pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, determination, and enthusiasm) (7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership. (8) baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humanity, modesty), (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness).
Dengan mengutip dari Lickona, Saptono (2011:21) bahwa ada sepuluh kebajikan esensil yang dibutuhkan untuk membentuk karakter yang baik bagi peserta didik. Kesepuluh kebajikan esensial itu adalah: kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), ketabahan (fortitude) pengendalian diri (self-control), kasih (love), sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard work), integiritas (integrity), penuh syukur (gratitude), dan kerendahan hati (humility). Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia (2011:9-10) mengidentifikasi ada 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional yang dapat dirujuk sebagai pembentuk karakter, diantaranya: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter dalam diri bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah serta jenis karakter yang telah dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan serta kondisi satuan pendidikan masing-masing. Diantara berbagai nilai yang telah dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
Pendidikan karakter pondok pesanteren bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter telah berfungsi untuk: (1) mengembangkan potensi dasar agar peserta didik berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur.(3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
Konsep Pendidikan Karakter dan Pendidikan Basic Pesantren
Secara konsepsional, pendidikan karakter terdiri dari dua kata, diantaranya pendidikan dan karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pendidikan bermakna proses pengubahan sikap dan perilaku, baik individu maupun kelompok, bisa melalui mekanisme pengajaran atau pelatihan. Dengan kata lain, pendidikan adalah usaha sadar dari dalam diri seseorang maupun kelompok untuk mencerdaskan dirinya maupun lingkungannya. Sementara itu, kata karakter sendiri bermakna watak, tabiat, dan perilaku dari seseorang yang dihasilkan melalui proses internalisasi pada dari berbagai konsep kebijakan yang dapat dijadikan landasan dalam kehidupan sehari-hari. Muhlas Samani dan Hariyanto memaknai karakter sebagain nilai-nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan prilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, orang yang berkarakter juga dapat disebut juga orang yang berkepribadian. Kepribadian itu sendiri merupakan hasil dari bentukan yang bersifat khas dalam diri seseorang, baik melalui kebiasaan, norma, lingkungan, maupun kondisi sosial.
Secara yuridis, makna pendidikan karakter secara implisit tertuang dalam definisi pendidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Ketentuan ini yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya, pendidikan harus mampu mencapai tujuan fundamentalnya, yakni bagaimana menjadikan peserta didik dapat aktif mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, sekaligus mempunyai perilaku dan kepribadian yang baik dan mulia.
Tujuan pendidikan diatas mengisyaratkan tentang karakter-karakter yang diharapkan dari anak didik sebagai buah dari proses pendidikan. Karakter identik dengan kepribadian atau akhlak pribadi. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari berbagai bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan seperti keluarga pada masa kecil, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa baik atau buruknya karakter sesorang individu sudah menjadi bawaan dari lahir. Jika bawaaannya baik, maka manusia akan baik. Sebaliknya, jika bawaannya buruk, seseorang itu akan berkarakter buruk. Jika pendapat ini benar berarti, lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat tidak dapat merubah karakter pribadi seseorang. Sementara itu, kelompok yang lain berpendapat bahwa karakter itu dibentuk dan diupayakan sehingga pendidikan karakter bermakna untuk membawa manusia berkarakter baik. Pendapat terakhir inilah yang banyak diikuti banyak orang sekarang, terutama oleh para ahli pendidikan di Indonesia, sehingga pendidikan karakter sangat digalakkan di Indonesia pada umumnya dan khususya di lembaga-lembaga pendidikan formal. Dalam sistem pendidikan Indonesia, pendidikan karakter mempunyai peran, fungsi, dan tujuan masing-masing.
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa, yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berhati baik, berperilaku baik, dan berpikiran baik. (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; dan (3) mengembangkan potensi agar mempunyai sifat percaya diri, bangga terhadap Negaranya dan bersikap baik kepada orang lain. Dilihat dari fungsinya, pendidikan karakter dapat berfungsi untuk: (1) membangun kehidupan yang multikultural; (2) membangun kehidupan Bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan berkontribusi dalam pengembangan kehidupan manusia; dan (3) membangun sikap yang cinta damai, kreatif, dan mandiri. Dari ketiga fungsi dapat kita pahami bahwa cara bersikap kepada orang lain yang berbeda merupakan salah satu instrument sukses tidaknya pendidikan karakter yang diimplementasikan. Pendidikan karakter di sekolah merupakan kebutuhan vital agar bagaimana generasi penerus dibekali dengan kemampuan-kemampuan dasar yang tidak saja mampu menjadikannya long-life learners sebagai salah satu karakter penting untuk hidup di era global ini, tetapi juga mampu berfungsi dengan peran serta yang positif baik sebagai pribadi, sebagai anggota keluarga, maupun sebagai warga negara. Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya instrumental untuk bagaimana meningkatkan keefektifan proses pembelajarannya disertai pengembangan kultur yang positif. Pesantren atau yang dikenal dengan pondok pesantren merupakan satu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Kata pondok (kamar, gubug, rumah kecil) dipakai dalam Bahasa Indonesia pada kesederhanaan dalam bangunan. Mastuhu, berpendapat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam (tafaqquh fi al-dīn) dengan terus menerus menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan berbasis pesantren merupakan upaya memadukan sistem pendidikan di sekolah formal dan sistem pesantren yang masing-masing punya keunggulan. Pendidikan formal cenderung berfokus pada kecerdasan akademik, meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual. Pendidikan di pesantren cendrung berfokus pada keunggulan spiritual, meskipun tidak lantas mengabaikan keunggulan intelektual. Memadukan kedua sistem itu akan melahirkan kekuatan pendidikan yang mampu menghasilkan generasi yang berkarakter yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Karakter yang diharapkan dari sekolah yang menerapkan pendidikan berbasis karakter adalah terbangunnya akhlak dari individu sebagai karakter keislaman agar menjadi pribadi yang berakhlak mulia dengan berbagai cara-cara tertentu yang disesuaikan dengan sistem pendidikan di pesantren. Melalui pembinaan yang menjadi rutinitas sehari-hari, terbinalah anak didik dengan karakter yang melekat dalam dirinya tanpa ada paksaan. Jadi karakter itu merefleksi dalam nilai-nilai kehidupan sehari-hari.
Implementasi Pendidikan Karakter di SMPIT Ar-Raudhah Albantani
Sekolah Mengengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Ar-Raudhah Albantani merupakan salah satu sekolah di Baros berlokasi di Desa Sukamenak, Kecamatan Baros, Kabupaten Serang. Sekolah ini mempunyai ciri khas yang unik dalam sistem pembelajaran yang digunakannya. Ciri khas tersebut terletak pada pemaduan antara nilai-nilai relegius kepesantrenandengan kurikulum yang sudah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dalam visi misi SMPIT Ar-Raudhah Albantani ini tersirat bahwa pendidikan yang dilaksanakan di sekolah itu bertujuan untuk membentuk generasi yang memiliki karakter-karakter khusus, utamanya karakter yang bernuansa agama yang mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Wujud implementasi visi misi tersebut terlihat dari penetrasi kurkulum yang mensinergikan kurikulum pesantren dengan kurikulum sekolah yang dimana nilai aktifitas di pesantren berpengaruh terhadap proses penilaian di sekolah, sehingga siswa yang memiliki karakter baik harus memiliki nilai positif di pesantren.
Karakter yang lain yang diharapkan dari siswa yaitu kemampuan dalam membaca dan memahami kitab kuning dan kitab-kitab dasar gramatikal seperti kitab naḥw dan ṣaraf. Dengan demikian sekolah yang mengintegrasikan nilai-nilai kepesantren dapat diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki beberapa karakter yaitu (1) karakter akhlak yang tercermin dalam perilaku seharihari terhadap temannya, guru, orang tua, dan lainnya, (2) karakter istiqomah baik dalam mempertahankan akhlaknya maupun dalam nilai amaliyahnya sehari-harinya seperti sholat baik sholat sunnat maupun wajib, dan merefleksikan nilai-nilai keislaman yang didapat dari kitab-kitab yang bersumber dari AlQur’an dan Hadits, dan (3) karakter kemampuan yang tercermin dari kemampuan anak didik dari pengalaman belajarnya selama menjadi siswa. Penanaman pendidikan karakter di SMPIT Ar-Raudhah Albanatani merupakan penetrasi dari nilai yang terdapat visi misi sekolah dalam membentuk karakter peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Juga memiliki karakter islāmī seperti berakhlakul karimah, jujur, mandiri, berjiwa sosial, dan memiliki kemampuan strategis yang berorientasi pada al-Qur’an dan Sunnah, sehingga terbentuk generasi yang siap memperjuangkan nilai-nilai Islam yang diimplementasikan dalam bentuk kurikulum dengan mensinergikan kurikulum sekolah dan kurikulum pesantren.
Dalam mengembangakan kurikulum perlu asas yang kuat agar tujuan kurikulum dapat tercapai sesuai dengan kebutuhan. Salah satu asas kurikulum, yaitu asas religius. Asas religius admerupakan kurikulum yang dikembangkan dan diterapkan berdasarkan nilai-nilai ilāhiyyah sehingga dengan adanya dasar ini kurikulum diharapkan dapat membimbing peserta didik untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia, dan melengkapinya dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Sehingga dalam mengimplementasikan visi misi sekolah sebagaimana yang dijelaskan oleh responden A (kepala sekolah SMPIT Ar-Raudhah Albantani) bahwa SMPIT Ar-Raudhah Albantani dalam pelaksanaan kurikulum sekolah mensinergikan dengan kurikulum pesantren, di mana SMPIT Ar-Raudhah Albantani Puncak Darus Salam yang menjadikan nilai-nilai pesantren sebagai syarat kenaikan kelas dan kelulusan. Dengan demikian nilai anak didik di pesantren akan berimplikasi terhadap penentuan kebijakan dan penentuan sehingga nilai anak didik di sekolah, misalnya penentuan kenaikan kelas.
Anak didik di SMPIT Ar-Raudhah Albantani akan naik naik kelas dan lulus apabila syarat kelulusan nilai-nilai pesantren telah terpenuhi. Pendapat ini didukung oleh responden B (kepala yayasan SMPIT Ar-Raudhah Albantani) bahwa kurikulum pesantren merupakan kurikulum yang tidak terpisahkan dari kurikulum sekolah, karena sekolah pada dasarnya dianggap sebagai salah satu program yang berada di bawah naungan pesantren. Oleh karenanya, tercapainya nilai-nilai di pesantren menjadi syarat-syarat tercapainya nilai sekolah. kajian-kajian kitab. Pengembangan syariah terlihat dari kegiatan keseharian santri yang merupakan aktifitas rutinitas santri yang dimulai sejak bangun tidur pada pagi hari pada jam 3 hingga malam hari pada jam 10. Rutinitas itu meliputi beberapa kegiatan yang berkenaan dengan ibadah baik ibadah wajib seperti shalat lima waktu berjamaah, maupun shalat sunnah (yang diwajibkan) seperti shalat tahajud dan shalat dhuha. Adapun pengembangan karakter di pesantren dapat terwujud melalui pembiasaan dari rutinitas santri yang membentuk pribadi sendiri yang konsisten atau istiqomah dan pembentukan akhlak yang dikembangkan dalam kegiatan sosial santri baik dengan sesama santri, dengan ustad, dan pengurus, dan pengasuh pesantren.
Pengembangan akhlak juga dapat terwujud melalui teladan atau pemberian contoh yang baik oleh guru, ustad, pengurus, dan pengasuh yayasan. Hal ini terlihat dari evaluasi yang dilakukan pengasuh bukan hanya terhadap santri saja, tetapi ustadz dan pengurus pesantren juga diawasi dan dievaluasi secara berkala. Sementara kurikulum yang dilaksanakan di SMPIT Ar-Raudhah Albantani merupakan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional yang berfokus kepada pengembangan pengetahuan umum. Penanaman karakter di sekolah juga dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Menurut Fikri Bayu, materi pelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieskplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik sehari-hari10. Menurut Marzuki dalam bukunya Pendidikan Karakter Islam, pendidikan karakter di sekolah tidak hanya menjadi tanggung jawab guru agama atau guru mata pelajaran tertentu (semisal guru PKN, IPS, dan Bahasa Indonesia), tetapi menjadi tanggung jawab semua guru dan pengelola sekolah.11 Mata pelajaran eksak seperti IPA (sains) dan matematika juga harus mengajarkan karakter. Melalui mata pelajaran IPA dan matematika bisa dikembangkan karakterkarakter seperti kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa ingin tahu, kerja sama, kreativitas, dan tanggung jawab.
Kesimpulan
Penanaman nilai-nilai karakter di SMPIT Ar-Raudhah Albantani Baros terlihat dari visi misinya yaitu membentuk generasi yang memiliki karakter-karakter khusus, utamanya karakter yang bernuansa agama yang mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Wujud implementasi visi misi tersebut terlihat dari penetrasi kurikulum yang mensinergikan kurikulum pesantren dengan kurikulum sekolah. Pelaksanaan pendidikan karakter di SMPIT Ar-Raudhah Albantani Baros berjalan secara maksimal dikarenakan kurikulum pesantren terintegrasi dengan kurikulum sekolah, di mana tercapainya nilai di pesantren menjadi syarat tercapainya nilai di sekolah. Implementasi pendidikan karakter di SMPIT Ar-Raudhah Albantani Baros dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu: (1) afektif: penanaman pendidikan karakter berdampak terhadap perubahan sikap, melalui pembiasaan yang dilakukan secara berkesinambungan baik di pesantren maupun di sekolah menjadikan anak didik memiliki karakter-karakter tertentu seperti istiqamah, berakhlak baik, mandiri, dan lainnya.
(2) kognitif: mengaitkan pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran memberikan pemahaman anak didik akan nilai-nilai karakter dan pentingnya karakter dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menstimulus kesadaran anak didik untuk mempraktekkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari; dan (3) psikomotorik: melalui pengalaman belajar yang diterima anak didik baik di pesantren maupun di sekolah, mereka memiliki kemampuan yang terejawantahkan ke dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Pengamalan ini merupakan kelanjutan dari berbagai ranah afektif dan kognitif dalam bentuk kecenderungankecendrungan berperilaku. Perilaku itu dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya melalui pembiasaan yang membentuk karakter yang melekat dalam dirinya.