BISNISBANTEN.COM — Penerapan redenominasi perlu memerlukan pondasi ekonomi yang lebihkuat agar dapat diterapkan di Indonesia. Hal tersebut dilakukan agar seluruh masyarakat paham tentang persepsi redenominasi.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bina Bangsa, Hendra Rahman, mengatakan, jika menurut Menteri penerapan sistem tersebut diyakini tidak akan mempengaruhi nilai rupiah, namun perlu adanya pondasi ekonomi yang kuat.
“Kalau tingkat pertumbuhannya sekitar lima persen, kalau menurut saya lebih baik agak ditunda dulu,” ujarnya, Minggu (6/8).
Kurang tepatnya penerapan tersebut, lanjutnya, tentu akan menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan, terutama masalah persepsi dari masyarakat. “Mungkin kalau saya atau Menteri bilang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 itu tidak berubah, karena harga juga akan berubah. Tapi apakah itu juga akan dimengerti oleh masyarakat yang ada di daerah,” ujarnya.
Menurutnya, redenominasi berbeda halnya dengan sanering, namun
dikhawatirkan masyarakat awam tidak mengerti sama sekali tentang hal itu. “Kalau menurut saya sih yang paling utama pertumbuhan ekonomi harus diatas 5 persen, baru bisa,” tuturnya.
Kendati demikian, kedua pemahamannya tersebut harus disamakan terlebih dahulu dengan masyarakat di daerah. Dikhawatirkan penerimaannya akan menjadi salah, sehingga program yang kira-kira bagus tidak bisa sesuai yang diinginkan.
“Di satu sisi ada nilai positifnya juga, karena kan kami tidak mau
nilai rupiah dianggap rendah di mata orang lain. Sekarang 1 dollar Rp 13.000, kalau Cuma Rp 1 maka 1 dollar jadi Rp 300,” ucapnya.
Ia menambahkan, jika redenominasi diterapkan tahun depan, pasti
akan menimbulkan kegaduhan. Sebelumnya, untuk bisa menerpkan sistem tersebut pertumbuhan ekonominya pun harus di atas 5 atau 7 persen.
“Kalaupun ada kegaduhan, tidak akan terlalu ramai. Memang jika
dibandingkan dengan negara lain, Indonesia pertumbuhan ekonominya lebih bagus, tetapi apakah kenaikan ini akan berdampak positif, jika nanti ada kebijakan yang sedemikian drastis,” ungkapnya. (gag/red)