Info Travel

Berwisata sambil Napak Tilas ke Keraton Kaibon, Apa Serunya?

BISNISBANTEN.COM – Destinasi wisata satu ini memang hanya berupa puing-puing bangunan masa lalu, namun memiliki nilai sejarah luar biasa. Kaibon, keraton kedua di Banten Lama setelah Surosowan. Ada apa di sana?

Untuk masuk ke tempat ini hanya dikenakan biaya parkir sekaligus tiket masuk. Tak ada pedagang dan juga toilet di sini. Pedagang ada di luar pagar, sementara toilet hanya toilet penjaga cagar budaya. Jadi, persiapkan makanan atau minuman seperlunya sebagai persiapan.

Terletak di Kampung Kroya, Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, situs cagar budaya ini peninggalan masa Kesultanan Banten periode Islam. Keraton yang dibangun pada 1815 ini sudah tertata rapi. Selain dilengkapi kursi-kursi taman untuk duduk-duduk pengunjung juga ada taman bunga di beberapa spot. Nuansa klasik peninggalan era penjajahan masih terasa si sini, dan inilah alasan Kaibon kerap dijadikan lokasi foto dan video. Entah itu prewedding, keluarga, atau teman sekelas.

Advertisement

Dari segi nama, nama Kaibon berarti dipastikan diambil dari kata keibuan yang memiliki arti bersifat seperti ibu yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Kaibon menjadi keraton kedua di Banten setelah Surosowan. Berbeda dengan Keraton Surosowan, sebagai pusat pemerintahan, Keraton Kaibon dibangun sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah. Hal ini dikarenakan Sultan Syafiudin sebagai Sultan Banten ke 21 saat itu usianya masih lima tahun.

Keraton yang dibangun untuk ibunda sultan ini dahulu adalah kediaman Sultan Syafiuddin, Sultan Banten yang memerintah pada 1809 – 1815. Saat Sang Sultan wafat, digantikan oleh putranya yang baru berusia lima tahun. Nah, untuk sementara waktu, pemerintahan dipegang oleh sang ibu, yaitu Ratu Aisyah. Keraton ini masih digunakan sampai masa pemerintahan Bupati Banten pertama yang mendapat dukungan Belanda, yaitu Aria Adi Santika, sebagai pengganti pemerintahan Kesultanan Banten yang dihapuskan mulai 1816.

Advertisement

Pada 1832, Keraton Kaibon dihancurkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur VOC saat itu, Jenderal Daen Dels. Penyerangan dilakukan karena Sultan Syaifudin menolak dengan keras permintaan sang jendral untuk meneruskan pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan.

Utusan jenderal Du Puy dibunuh sultan hingga kepalanya dipenggal kemudian dikembalikan kepada Daen Dels. Ia pun marah besar dan menghancurkan Kaibon.
Kini yang tersisa hanya berupa pondasi, tembok-tembok bangunan dan gapura-gapura keraton.

Kaibon lalu dipugar pada proyek pelestarian/pemanfaatan peniggalan sejarah dan purbakala pada 1991/1992 hingga 1993/1994. Kegiatannya berupa perbaikan gapura pintu gerbang dan sebagainya.

Keraton ini dibangun menghadap barat dengan kanal di bagian depan. Kanal ini berfungsi sebagai media transportasi untuk menuju ke Keraton Surosowan yang letaknya berada di bagian utara.

Pada bagian depan keraton dibatasi dengan gerbang dengan lima pintu. Angka lima ini mengikuti jumlah salat dalam satu hari yang dilakukan umat muslim.

Gerbang yang bergaya Jawa dan Bali di sini memiliki ketinggian dua meter dengan bentuk Candi Bentar sebagai motifnya. Gerbang ini juga disebut gerbang bersayap. Pada satu gerbang terdapat pintu paduraksa yang menghubungkan bagian depan dengan ruang utama keraton.

Ruang utama keraton tidak lain kamar tidur Ratu Asiyah. Dibangun dengan menjorok ke tanah, kamar tidur Sang Ratu dilengkapi teknologi pendingin ruangan. Ini bisa terlihat dari lubang yang terdapat dalam ruangan. Lubang ini pada dahulu kala dapat diisi air untuk memberikan efek sejuk.

Di atas tanah seluas mencapai empat hektar, Kaibon dibangun menggunakan batu bata dari pasir dan kapur. Walaupun telah hancur, namun masih terlihat pondasi dan pilar-pilar yang utuh.

Salah satu bangunan yang terlihat jelas yakni menyerupai masjid, berada di sisi kanan gerbang. Selain pilar yang masih utuh, di dalam bangunan terdapat mimbar yang berfungsi sebagai tempat berdirinya khotib.

Nah itulah Kaibon. Keraton yang meskipun hanya berupa puing-puing pada saat ini namun tidak kehilangan pesona. Jadi, kapan berkunjung ke sini atau kapan datang ke tempat ini lagi? (Hilal)

Advertisement

Hilal Ahmad

Pembaca buku-buku Tereliye yang doyan traveling, pemerhati dunia remaja yang jadi penanggung jawab Zetizen Banten. Bergelut di dunia jurnalistik sejak 2006.