Menemukan Teduh di Antara Luka: Membaca Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka Karya Setiawan Chogah

BISNISBANTEN.COM – Kebanyakan kisah memandang luka sebagai sesuatu yang harus segera ditutup. Namun Setiawan Chogah memilih cara lain dalam novel Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka: luka bukan musuh, melainkan bagian yang mesti diterima, dirawat, dan pada waktunya dibiarkan menumbuhkan sesuatu.
Kisah ini tidak dikebut menuju kemenangan besar. Sebaliknya, ia menuntun pembaca berjalan perlahan di lorong kehidupan tokoh-tokohnya.
Ada Raif yang belajar menjadi rumah tanpa meminta untuk dimiliki, Rangga yang memikul seragam sekaligus rahasia, Dinda yang menjaga damai di ruang sempit, Keira yang menulis dengan kapur putih di halaman kecil, serta Ayra dan Amar yang masing-masing menyimpan beban.
Mereka hadir bukan sebagai tokoh luar biasa, melainkan manusia biasa yang berjuang dengan cara yang sederhana: tetap tinggal, tetap pulang, tetap menanam.
Fiksi yang Berutang pada Nyata
Novel ini ditulis dengan bingkai fiksi, tetapi jejak kenyataan terasa di setiap lembarnya.
Setiawan Chogah dengan jujur menyebut bahwa karya ini “berutang pada kenyataan.” Ada pengalaman manusia yang nyata di dalamnya—persahabatan, cinta, kehilangan, hingga rahasia yang tak sempat selesai.
Namun, detail-detail yang bisa melukai sengaja disamarkan. Nama diubah, institusi dihapus, lokasi digeser, dan waktu dipadatkan. Dengan cara itu, cerita ini menjadi cermin empati, bukan dokumentasi.
Hasilnya, tokoh-tokoh seperti Raif dan Rangga terasa hidup—karena kita semua pernah, pada satu titik, berada di posisi mereka: ingin mencintai tanpa merusak, ingin pulang tanpa harus memiliki.
Pohon sebagai Bahasa
Ciri khas novel ini adalah kehadiran pohon di setiap bab. Pohon bukan sekadar latar, melainkan bahasa.
Plumeria alba (kamboja putih): gugur lalu mekar kembali; wangi yang lahir dari kehilangan.
Terminalia catappa (ketapang): payung keberangkatan; ada yang tinggal agar hidup, ada yang pergi agar pulang.
Cassia fistula (hujan emas): mekar singkat, keindahan yang jujur pada waktunya.
Dracaena trifasciata (lidah mertua): penyaring udara, metafora batas sehat.
Olea europaea (zaitun): rumah yang membuka pintu, damai yang meneteskan minyak tenang.
Mangifera indica (mangga): pohon yang berbuah setelah seseorang berani menyerahkan rumahnya.
Dengan itu, membaca novel ini serupa duduk di bawah pohon rindang. Kita tidak dikejar kata, melainkan ditemani wangi, teduh, dan bayang.
Profil Setiawan Chogah: Menulis dengan Napas Pelan
Setiawan Chogah sudah lama dikenal lewat esai-esai pendek yang berseliweran di media sosial dan media cetak. Gaya tulisnya konsisten: pelan, jernih, dan menolak tergesa.
Dalam novel ini, ia memperlihatkan keberanian untuk tetap setia pada tempo yang sama. Setiap bab ditulis bukan sebagai lomba lari, melainkan sebagai kursi untuk duduk.
Pembaca tidak diminta menggebu, hanya diajak bernapas dan menemukan bahwa kalimat bisa menjadi tempat istirahat.
Edisi Digital Gratis, Edisi Cetak Terbatas
Pada periode awal, Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka dibagikan secara gratis di Wattpad. Ini sejalan dengan misi hidup Setiawan: menghadirkan karya sebagai undangan, bukan produk jualan semata.
Melalui platform itu, pembaca diajak menikmati cerita lengkap dengan ilustrasi di setiap bab dan kidung pengantar—lagu-lagu yang bisa diputar sebelum membaca, agar napas dan hati masuk ke ritme cerita.
Namun, Setiawan juga tengah menyiapkan versi cetak terbatas. Versi ini akan menjadi rumah baru: memungkinkan pembaca mencium aroma kertas, menatap ilustrasi di antara halaman, dan menyimpan buku di rak untuk teman lama yang selalu bisa dipanggil kembali.
Hening yang Mengandung Suara
Kekuatan novel ini adalah kemampuannya menghadirkan hening yang tidak kosong. Misalnya, pada adegan Rangga menangis membaca surat, atau Keira yang menggambar oval di lantai rumah dinas. Hening dalam cerita ini bukan ketiadaan, melainkan ruang dengar.
Seperti pohon yang tidak pernah berteriak, tetapi selalu ada untuk meneduhkan, novel ini mengajak pembaca melihat bahwa kesunyian justru bisa menyimpan arti.
Pesan untuk Dunia yang Riuh
Dunia hari ini penuh kompetisi, ambisi, dan riuh informasi. Setiawan melalui novel ini menawarkan cara lain untuk tetap waras: duduk sejenak, belajar dari pohon.
Dengan membiarkan diri membaca pelan, kita belajar bahwa ada luka yang tidak perlu disembuhkan dengan tergesa, ada cinta yang cukup dirawat tanpa harus dimiliki, ada rumah yang bisa terbuka tanpa menjadi penjara.
Menjadi Tanah yang Subur
Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka adalah ajakan untuk menjadi tanah yang subur. Tanah tidak memilih siapa yang tumbuh, tetapi setia memberi ruang.
Melalui novel ini, Setiawan Chogah menghadirkan karya yang menolak riuh, memilih pelan, dan tetap mengakar. Bagi siapa pun yang sedang lelah, novel ini bisa menjadi bangku teduh untuk berhenti sebentar dan menemukan napas baru.