Asal-usul Gelar Haji di Indonesia, Nggak Perlu Marah Kalau Nggak Disebut Pak Haji/Bu Hajjah

BISNISBANTEN.COM — Jemaah haji Indonesia secara bertahap sudah kembali ke tanah air setelah melakukan rangkaian ibadah haji di tanah suci. Salah satu kekhasaan masyarakat Indonesia bagi jemaah yang kembali ke Indonesia adalah menambahkan “gelar” dengan sebutan haji bagi laki-laki dan hajjah untuk perempuan. Sematan gelar ini sudah berlangsung lama dan menjadi kebiasaan di masyarakat. Bisa jadi, sebutan gelar ini sebatas untuk menghargai orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Namun, perlukah gelar ini disematkan? Pernahkah Anda terpikir, pemberian gelar ini apakah hanya di Indonesia, atau berlaku juga di negara lainnya? Mari kita kupas bersama di artikel ini.
Pengertian Istilah Haji
Istilah haji berasal dari Bahasa Arab “al-hajj” yang artinya menyengaja sesuatu atau mengunjungi. Dalam konteks ini menyengaja pergi ke baitullah. Secara istilah, haji adalah berkunjung ke Ka’bah untuk melakukan serangkaian ibadah pada bulan Dzulhijjah.
Gelar Haji Berasal dari Kolonial Belanda
Gelar haji di Indonesia biasanya dilekatkan pada nama, dengan singkatan “H” bagi laki-laki atau “Hj” bagi perempuan. Biasa disapa juga dengan panggilan pak haji atau bu hajjah. Gelar ini tidak berlaku di negara lain termasuk di negara Arab Saudi sekalipun.
Sementara di Indonesia, sebutan ini muncul sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Dilansir dari berbagai sumber, peristiwa ini bermula saat adanya anggapan dari penjajah terhadap beberapa tokoh muslim Indonesia seusai melakukan ibadah haji yanng dinilai sebagai orang suci dan memiliki pengaruh kuat. Tokoh anti kolonialisme ini gencar melawan para penjajah Belanda, seperti KH Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH Hasyim Asyari yang mendirikan Nahdlatul Ulama, Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam, dan Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam. Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini mengkhawatirkan pihak Belanda,
Penjajah meyakini seseorang yang baru pulang dari berhaji akan lebih didengarkan pendapatnya oleh masyarakat dan penduduk awam lainnya. Sebelumnya, para kiai tidak ada yang bergelar haji. Namun, karena banyak perlawanan yang dilakukan umat Islam terhadap kolonial, terutama yang baru kembali dari ibadah haji, membuat pemerintah kolonial Belanda mulai waspada dan melakukan politik Islam. Sebagai antisipasi dan pengawasan, disematkanlah gelar haji sebagai penanda bagi orang-orang yang baru pulang dari Tanah Suci.
Tujuan pemberian gelar haji ini adalah agar pihak Belanda lebih mudah dalam melakukan pengawasan bagi para jemaah haji yang mencoba memberontak. Oleh sebab itu, sejak 1916, setiap umat Muslim Indonesia yang baru saja pulang dari ibadah haji akan diberi gelar haji.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Maka sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
Pandangan Para Ulama
Dikutip dari akun Youtub Khalid Bassalamah Official, ustadz Khalid menyampaikan, pemberian gelar “Haji” sebagai sebuah tradisi yang tidak memiliki dasar dalam ajaran agama Islam. Menurutnya, gelar “Haji” lebih baik ditinggalkan untuk menghindari riya atau ujub, yaitu perasaan bangga dan sombong atas ibadah yang telah dilakukan. Dalam ceramahnya, Ustadz Khalid Bassalamah menjelaskan, Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sudah berkali-kali melaksanakan ibadah haji seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan pun tidak memakai gelar tersebut di depan namanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan bahwa, hendaknya seseorang menyembunyikan ibadah yang telah dilakukan.
Sementara itu, pendapat ulama lain Ustadz Firanda Andirja menekankan, agar gelar “Haji” tidak digunakan untuk menunjuk kedudukan yang lebih tinggi secara sosial. Menurutnya, yang terpenting adalah keikhlasan dalam beribadah haji dan tidak menggunakan gelar tersebut sebagai bentuk kebanggaan diri.
Bagi Anda yang kini baru selesai melakukan ibadah haji, semoga menjadi haji yang mabrur dan mabruroh, menjadi pribadi muslim yang lebih bertakwa dan menunjukan pribadi yang lebih baik tanpa harus memedulikan panggilan atau gelar haji. Sebab jelas sebutan ini bukan berasal dari syariat Islam, melainkan sebutan yang diciptakan oleh penjajah Belanda bagi pemberontak anti-kolonial. Bagi siapapun yang memiliki niat berhaji, semoga Allah Subhanahuata’alla panggil untuk menjadi tamu ke baitullah. Aamiin. (Zahara)