Pemerhati Baduy : Pentingnya Mengembalikan Kesakralan Upacara Adat Seba
SERANG – Pemerhati Masyarakat Adat Baduy, Uday Suhada menyebut, tak akan lama lagi masyarakat Baduy akan segera memiliki agenda akhir tahun, perhitungan waktu Adat Baduy yakni melalui Kolenjer. Agenda rutin itu adalah upacara adat Seba dan ritual tersebut harus dilaksanakan apapun kondisinya.
“Tahun lalu saat pandemi Covid-19 mulai merebak misalnya, mereka tetap melaksanakannya dalam keterbatasan, pesertanya hanya selusin, menggunakan masker dan menjalankan protokol kesehatan, diterimanya juga bukan oleh Kepala Daerah, (tak apa). Demikian pula dengan agenda tahun ini, mereka akan tetap melaksanakannya,” ujar Uday saat menyampaikan materi pada acara Seminar Sejarah Banten yang digelar UPTD Taman Budaya dan Museum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, Kota Serang, Rabu (10/3).
Menurutnya, hingga kini ada dua pandangan yang berbeda dalam memaknai Seba. Pertama, pandangan dari luar yang menganggap upacara itu adalah sebagai bentuk ketundukan terhadap penguasa. Kedua, versi orang Kanekes sendiri Seba adalah rangkaian ritual dari tugas hidup mereka.
“Seba adalah ritual untuk menjaga ikatan silaturahmi antara masyarakat Adat Kanekes dengan Pemerintah,” sambung Uday.
Perlu diingat lanjut Uday, tugas hidup masyarakat Baduy yang terkenal dengan prinsip hidupnya yakni lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung dan ngabaratapeun ngabaratanghikeun titipan ti Adam Tunggal.
“Untuk menjaga harmoni, hidup antara manusia dengan alam. Mereka mendapatkan tugas berat untuk bertapa, mengurus yang batin dan kasat mata untuk keselamatan umat manusia serta alam dan segala isinya,” terangnya.
“Tugas lain yang sering terabaikan oleh kita adalah ngasuh ratu ngajayak menak. Jadi, bagaimana Seba bisa dimaknai sebagai ketundukan mereka terhadap penguasa? Sementara salah satu tanggung jawab Jaro Tangungan Duabelas dalam struktur adat adalah mengingatkan para pemimpin negara. Misalnya kepada presiden, amanatnya adalah bagaimana presiden memimpin harus kebawa negara, harus kebawa bangsa dan harus kebawa agama. Pesan yang sangat mendalam,” papar Uday.
Kemudian ada pula yang mengibaratkan Seba sebagai sikap seharusnya antara seorang anak terhadap orang tua yaitu kunjungan kepada pemerintah daerah.
Sementara yang mereka bawa sebagai ‘buah tangan’ biasanya antara lain padi yang masih lengkap dengan tangkainya (ranggeongan), gula merah (aren), buah pisang serta buah-buahan lainnya yang dihasilkan dari ladang mereka, serta laksa-penganan dari tepung beras. Seba ini juga disebut Seba Tahun, Tutup Tahun atau Seren Tahun.
Untuk itu, kata Uday, jika hendak bicara wawasan kebangsaan, kedaulatan pangan, keteraturan sosial, kesejahteraan, kemanusiaan, hidup menyatu dengan alam, maka belajarlah ke orang Baduy.
*Pesan yang Berulang*
Delegasi yang dipimpin oleh Jaro Tangungan Duabelas (bukan Jaro Pemerintah atau siapapun) senantiasa membawa amanah dari lembaga adat. Ini diantaranya pesan agar seluruh komponen bangsa senantiasa menjaga dan melestarikan alam, menegakkan hukum dan senantiasa menjalin tali persaudaraan, memanusiakan manusia dan memuliakan kehidupan.
“Pesan ini disampaikan berulang kali, setiap Seba. Tapi yang terjadi justru sering kali didenge teu diceulian (didengar tidak dimengerti),” katanya
Memang masih kata Uday, saat upacara adat Seba berlangsung, kelemahannya apa yang disampaikan oleh Jaro Tangungan Duabelas, sulit diikuti dan dicerna. Di samping diucapkan dengan cepat, hampir tak ada jeda, juga bahasa yang dipakai adalah Sunda Buhun (Sunda Kuno).
“Jangankan warga luar, warga Kanekes sendiri, sedikit saja yang mampu memahami seutuhnya,” ucapnya.
“Gumam doa dan berbagai pesan moral yang disampaikan, terucap begitu saja oleh yang mendapat kuasa (Jaro Tanggungan Duabelas) siapapun orang yang menjabatnya. Ghoib memang, kalimat itu tak bisa dipelajari seperti kita menghafal Al-Qur’an, Hadits, Kitab-kitab Suci, Undang-undang atau puisi dan syair lagu. Sebab di Baduy tak ada kitab atau bukunya,” jelasnya.
Dijelaskannya, persoalan yang sangat penting untuk diketahui publik sekarang adalah jangan sampai terulang lagi peristiwa yang tidak semestinya. Seperti memperlakukan delegasi Seba dengan hal yang tidak semestinya.
“Misalnya menghibur mereka dengan dangdutan. Atau mengarahkan mereka untuk melakukan Seba ke tempat selain Gedung Keresidenan yang kelak menjadi kantor Gubernur dan kini menjadi Museum. Jangan menjadikan event itu sebagai ajang tontonan yang dieksploitasi (bukan eksplorasi) secara ekonomi dan kepariwisataan. Sebab mereka bukan obyek wisata, bukan tontonan, tapi tuntunan,” pungkasnya. (***)