Kebijakan Tarif Trump, Ancaman Bagi Ekonomi Global dan Indonesia

BISNISBANTEN.COM — Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia, dinilai sebagai ancaman serius bagi perekonomian global.
Pengamat Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Hadi Sutjipto menyatakan, bahwa kebijakan ini tidak lepas dari kondisi defisit neraca perdagangan Amerika Serikat yang sangat tinggi.
“Amerika Serikat adalah negara dengan defisit neraca perdagangan tertinggi. Ini berarti impor barang Amerika lebih besar daripada ekspornya,” ujarnya.
“Sehingga negara negara yang notabenenya surplus terhadap perdagangan terhadap Amerika ini jadi sasaran untuk tarifnya termasuk Indonesia,” sambungnya.
Menurut data, dalam lima tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia juga terkena dampak dari kebijakan tarif tersebut.
“Kalau kita lihat, data Indonesia lima tahun terakhir perdagangan Indonesia ke Amerika itu surplus,” ujarnya.
Selain masalah defisit neraca perdagangan, Hadi juga menyoroti ambisi Trump untuk membangkitkan kembali industri Amerika Serikat.
“Karena selama ini rivalnya yaitu China kan sekarang seolah menjadi negara adidaya ekonomi baru ya, sehingga produk produk Amerika yang dulunya dibuat di Amerika sekarang justru banyak di luar Amerika seperti Apple dan sebagainya,” tambahnya.
Kebijakan ini juga berdampak signifikan pada China, rival utama Amerika Serikat, yang merupakan negara dengan surplus neraca perdagangan terbesar.
Karena China membalas menaikkan tarif terhadap barang impor dari AS, Donald Trump kembali menaikkan tarif impor atas barang-barang China yang akan masuk ke negaranya menjadi 245 persen.
“Ini adalah rivalitas yang sengit, sehingga Trump terus menambah besaran tarif ke China, dan yang terbaru sampai menjadi 245 persen. Sebelumnya, Trump menaikan tarif ke China sebesar 145 persen,” kata Hadi.
Saat ini, tarif resiprokal untuk negara lain akan ditunda selama 90 hari, banyak negara memulai pembicaraan dengan pemerintah AS untuk mencapai kesepakatan perdagangan.
“Hal ini mendorong negara-negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan lobi dengan Amerika Serikat,” terangnya.
Namun, Amerika Serikat juga harus siap menghadapi konsekuensi jika negara-negara lain, termasuk tetangganya seperti Meksiko dan Kanada, membalas dengan tarif serupa.
“Jadi ini Amerika menghadapi ancaman, kalau semuanya kemudian berubah arah atau mencari partner dagang lainnya, itu justru bisa membuat terpuruk ekonominya, tidak ada barang barang yang akan masuk, walaupun tidak semudah itu ya,” ujar Hadi.
Tapi, lanjutnya, sekarang kan sedang dicari negara-negara lain. Kalaupun memang Amerika tetap dengan pendiriannya, Amerika Serikat menghadapi ancaman jika semua negara mencari mitra dagang lain atau menggunakan mata uang selain Dollar.
“Mereka akan mencari partner dagang yang lain ya, atau menggunakan mata uang yang bukan Dollar, karena Amerika memang satu sisi kelebihannya Dollar itu sebagai mata uang dunia itu merajai,” katanya.
“Kemudian kita agak terseok kalau harus pembayaran defisa itu menggunakan Dollar, makanya kita merubah bagaimana menggunakan Yuan dan sebagainya atau mata uang negara lainnya, yang bukan pada Dollar Amerika,”tambahnya.
Menurut Hadi, kebijakan Trump kadang tidak nyambung dengan pasar modal, padahal kalau dilihat hampir semua pasar modal dunia termasuk Indonesia mengalami penurunan.
“Yang kemarin Indonesia dua kali harus di shutdown ya, karena turun drastis sampai lebih dari 5 persen itu ya, padahal kalau kita lihat dari perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan saham itu seperti perbankan saja, Mandiri, BCA itu kan enggak masalah. Jadi memang pasar modal adalah pasar non riil yang sangat rentan dalam isu dunia,” jelasnya.
Untuk Indonesia, dampak utama adalah pada ekspor ke Amerika Serikat. “Kita perlu mengantisipasi dampak tarif ini dan menyiapkan produk-produk yang lebih berdaya saing untuk ditawarkan ke negara lain,” kata Hadi.
Hadi menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk mencari alternatif pasar selain Amerika Serikat, jika negosiasi tarif tidak membuahkan hasil.
“Ini sebagai alternatif kalau sampai kemudian Amerika kekeuh tidak mau bernegosiasi atau tidak menentukan tarif yang diberikan kepada negara-negara lain,” pungkasnya. (siska)