Banten24

Harapan Baru dari Pesisir, Orang Muda Indonesia Bersuara di Forum Iklim Dunia

BISNISBANTEN.COM — Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun terpanas kedua dalam sejarah umat manusia. Bagi banyak orang, itu hanya statistik semata. Bagi Icheiko Ramadhanty, ancaman tersebut nyata. Ia melihatnya di berbagai desa pesisir negeri ini. Laut naik, cuaca berubah cepat, dan hasil tangkapan ikan oleh nelayan menurun. Banyak keluarga nelayan juga kehilangan pendapatan karena pola melaut tidak lagi bisa diprediksi.

“Contohnya di Ambon. Saya melihat sendiri bagaimana perempuan pesisir di sana harus kehilangan penghasilan dari menjual olahan ikan, karena laut makin tercemar dan hasil tangkapan makin sedikit,” kata Icheiko.

Bulan ini, langkah Icheiko membawanya jauh dari garis pantai menuju forum dunia. Ia terbang ke Brasil untuk menghadiri forum iklim terbesar di dunia, COP30, sebagai satu dari 16 pemimpin muda Selatan Global yang hadir di Belém, hingga 21 November 2025 pekan lalu.

Advertisement

Keterlibatannya di GAWIREA (Girls and Women in Renewable Energy Academy), dalam membantu masyarakat pesisir memahami energi terbarukan dan ketahanan iklim, mengantarnya terpilih oleh Life of Pachamama yang bermarkas di Kolombia.

Icheiko mewakili suara perempuan, masyarakat pesisir, dan orang muda Indonesia dalam mendorong keadilan iklim. Sebagai Communications and Community Development Manager di GAWIREA, Icheiko meyakini bahwa solusi iklim harus berakar dari mereka yang paling dekat dengan dampaknya.

“Dalam COP30, saya ingin lebih bersuara dalam menekan negara-negara kaya dan pencemar utama menunaikan tanggung jawabnya, yaitu menghadirkan pendanaan iklim yang memadai, tanpa menambah utang dan tanpa syarat, serta memastikan Loss and Damage Fund benar-benar terisi dan bisa diakses oleh yang membutuhkan,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa COP30 berlangsung di tengah situasi global yang semakin terpolarisasi, namun juga penuh peluang. “Di satu sisi, kita menyaksikan ketidakpastian politik dan komitmen yang goyah, bahkan dari negara maju. Di sisi lain, transisi menuju energi terbarukan tumbuh pesat dan menjadi harapan nyata bagi masa depan. Namun, semua ini tidak akan berarti tanpa keadilan iklim.”

Menggerakkan Energi dari Komunitas
Melalui GAWIREA, Icheiko ikut membangun pemahaman tentang energi terbarukan di komunitas yang paling terdampak krisis iklim. Bersama timnya, ia menjalankan program Net Zero Heroes, kurikulum pembelajaran energi bersih yang sudah menjangkau lebih dari 1.000 orang muda di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik. Sekitar 80 persen peserta adalah perempuan.

“Kami ingin orang muda tahu apa itu krisis iklim dan paham langkah praktis untuk menanganinya,” kata Icheiko.

Program ini mengajarkan dasar transisi energi, keadilan iklim, dan cara mengembangkan proyek kecil di komunitas masing-masing. Beberapa alumni kini menjalankan inisiatif seperti pengolahan sampah rumah tangga, konservasi mangrove, dan pemanfaatan panel surya di daerah terpencil.

Bagi Icheiko, memperjuangkan energi bersih berarti memberi ruang bagi masyarakat untuk bertahan. Ia melihat ketimpangan besar dalam akses terhadap listrik dan teknologi di berbagai wilayah Indonesia. “Banyak keluarga di daerah pesisir atau pulau kecil masih bergantung pada genset. Sementara kota besar membicarakan mobil listrik. Kesenjangan ini harus diubah,” ujarnya. Pengalaman di lapangan ini membentuk pandangannya tentang pentingnya demokratisasi kebijakan iklim.

Menegaskan Suara Selatan di Forum Dunia
Kiprah Icheiko membawanya terpilih di antara 16 pemimpin muda dari tiga benua yang mewakili lebih dari 10.700 peserta dari negara-negara Selatan yang berpartisipasi dalam program Pathway to the Democratization of the South, yang dipimpin oleh Life of Pachamama. Selama enam bulan, peserta mengikuti pelatihan kebijakan, komunikasi strategis, diplomasi iklim, serta evaluasi kepemimpinan.

Hasilnya adalah Deklarasi Pemuda Selatan Global, dokumen yang telah disampaikan di COP30 untuk menegaskan posisi orang muda dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam tata kelola iklim dunia.

Deklarasi tersebut menyerukan agar negara-negara maju menunaikan tanggung jawab iklimnya secara adil. Isinya menegaskan pentingnya pendanaan iklim yang bebas utang dan tanpa syarat, pelibatan orang muda dalam setiap tahap kebijakan, serta akuntabilitas perusahaan atas kerusakan lingkungan. Selain itu, deklarasi ini juga menuntut perlindungan bagi pembela lingkungan muda dari ancaman dan kriminalisasi, serta keterbukaan data dan informasi agar masyarakat dapat mengawasi kebijakan iklim secara transparan.

Pandangan ini juga dikuatkan oleh Juan David Amaya, Direktur Eksekutif Life of Pachamama. Menurutnya, COP30 menjadi momentum penting bagi generasi muda Selatan Global untuk menegaskan posisi politiknya. “Selama bertahun-tahun, wilayah Selatan hanya dipandang sebagai korban dari krisis iklim,” ujar Juan.

Ia menambahkan, “Delegasi yang terdiri dari orang muda dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia menunjukkan bahwa kami adalah wilayah, gagasan, dan kekuatan politik. Kami tidak ingin sekadar mendapat tempat simbolis; kami menuntut agar keputusan kami juga diperhitungkan dalam membangun perjanjian iklim yang baru.”

Icheiko menyebut Democratization of the South sebagai gagasan penting untuk mengubah struktur pengambilan keputusan global. “Bagi saya, demokratisasi berarti mengembalikan kendali dan ruang keputusan kepada negara-negara Selatan Global, karena mereka yang paling terdampak oleh krisis, namun paling sedikit memiliki kuasa dalam menentukan arah solusinya. Suara kami tidak boleh hanya didengar; kami harus menjadi bagian dari pengambil keputusan.”

Semangat yang tertuang dalam deklarasi pun harus terus hidup di luar ruang konferensi. Ia percaya bahwa peran anak muda harus berlanjut melalui aksi nyata di tingkat komunitas. “Ke depan, saya berharap semakin banyak ruang kolaborasi yang menghubungkan anak muda, komunitas lokal, dan sektor swasta maupun pemerintah. Supaya gerakan iklim tidak berhenti di kampanye, tapi tumbuh menjadi ekosistem yang mendukung energi terbarukan, ekonomi biru, dan ketahanan masyarakat dari akar rumput,” ujarnya.

Bagi Icheiko, harapan itu sederhana namun penting. Ia ingin setiap negara memiliki ruang yang setara untuk menentukan masa depan bumi bersama. (**)

Advertisement
bisnisbanten.com