Cafe Print, Bukan Obsesi Masa Kecil
Tak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Kalaupun kesuksesan bisa diraih dengan berpangku tangan, dapat dipastikan seluruh manusia di muka bumi ini tidak ada yang akan berjuang meraih sukses.
Efri Saputra, pemilik Cafe Print, mengaku, sejujurnya menjadi entrepreneur bukanlah cita-citanya di masa kecil. Terjun di dunia usaha atau bisnis karena memang faktor terpaksa.
“Waktu itu saya kelas dua STM (SMKN 2 Kota Serang sekarang). Saya pulang pergi sekolah mengendarai motor orangtua. Motor orang tua saya ini terbilang sudah tua dan ketinggalan zaman. Tentunya motor saya ini terkadang jadi bahan ejekan. Awas-awas ada motor ojek datang, celoteh teman saya waktu itu ketika saya masuk parkiran,” Efri mengawali cerita.
Walaupun itu hanya becandaan, namun Efri hati terkadang merasa sakit dan iri melihat motor-motor yang di parkiran begitu mentereng dan hasil modifikasi. Untuk menghibur diri, Efri selalu melihat ke bawah karena menurutnya, masih banyak juga yang pulang pergi sekolah naik sepeda bahkan jalan kaki.
“Dengan niat membeli motor saya berjualan pulsa. Bermodalkan etalase saya berjualan pulsa di samping warung orangtua. Alhamdulillah keuntungan jual pulsa melebihi uang jajan dan sedikit demi sedikit mengumpulkan uang,” kilah Efri.
Memasuki semester satu kelas, Efri akhirnya membeli motor hasil uang sendiri. Uang hasil usaha pulsa dan uang hasil magang di PT NS.
“Setelah sy berhasil membeli motor Satria F, usaha saya pun masih berjalan, malah menambah jasa cetak foto. Saya jual apa saja, stiker, sandal, kaos, dan lain-lain. Yang penting bisa membeli motor. Akhirnya saya ingin menutup usaha saya karena niat awal usaha adalah untuk membeli motor,” kata Efri lagi.
Setelah lulus sekolah, Efri ingin merasakan dunia kampus dan ingin kerja di kantoran. Waktu itu ia merasa bekerja di kantoran sangat enak, tinggal duduk di depan komputer. Sedangkan di pabrik harus tetap berdiri dan itu sangat capek. Efri mengaku, pernah kerja di pabrik ketika magang untuk kepentingan kelulusan.
“Akhirnya saya ingin kuliah jurusan komputer namun orangtua tidak setuju kalau saya ambil jurusan ini apalagi jurusan ini adanya di kampus swasta bukan negeri. Orangtua tidak bisa membiayai saya kuliah kalau kuliahnya di swasta. Karena swasta biayanya mahal apalagi kakak saya masih kuliah juga di swasta dan itu membebani orangtua saya. Mereka bilang, nantu aja kuliahnya nunggu satu tahun lagi,” tutur Efri.
Efri bilang, entah mengapa keinginan kuliah waktu itu sangat menggebu. Akhirnya ia mencari sendiri dan tetap membuka usaha karena mau tidak mau harus bisa membiayai kuliah sendiri. “Alhamdulillah saya merasakan kerja di kantoran sambil kuliah namun ternyata kerja di kantoran tidak seenak yang saya bayangkan. Kerja yang monoton membuat saya harus memilih jalan entrepreneur untuk merdeka karena waktu itu saya hobi traveling,” kata Efri.
Ia mengaku, tidak mudah memilih dan berjuang di jalan entrepreneur, banyak rintangan dan bahkan cemoohan. Misalnya komentar, “Sayang banget ijazah kuliahnya tidak terpakai”, “ngapain kuliah kalau ujung ujungnya jualan” dan masih banyak yang lainnya. Semua itu ia anggap sebagai vitamin dan harus menerima konsekuensinya karena memang ini sudah menajdi pilihan. Ia mengaku, kuliah bukan untuk mencari kerja namun untuk mencari ilmu. Dan ilmu itu bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Dengan ilmu IT yang ia miliki, ia membuka warnet di kampung yang saat itu benar banar belum terjamah internet. “Alhamdulilah respons masyarakat bagus dan saya memetik hasil usaha saya dan bahakan ketika saya masih belajar di kampus sudah memiliki karyawan,” tutur Efri.
Saat ini Efri sedang fokus mengembangkan usaha percetakan. “Dulu saya memberi nama Waroeng Digital dan sekarang bertransformsi menjadi Café Print dengan tagline solusi cetak Anda. Saya suka dengan dunia desain. Akhirnya hasil desain diaplikasikan di sebuah media seperti, kaos, gelas, kayu, dan lain-lain,” pungkas Efri. (milenia)