BISNISBANTEN.COM – Baru-baru ini Stadion Seruni milik Pemkot Cilegon menjadi perbincangan. Selain berganti nama menjadi Stadion Geger Cilegon, banyak juga yang membicarakan mengapa namanya bukan Stadion Gelora Geger Cilegon seperti nama yang dimenangkan saat sayembara beberapa waktu lalu?
Stadion Seruni dibangun pada 2015. Karena bertempat di lingkungan Seruni, Kelurahan Kedaleman Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, stadion ini pun dinamai Stadion Seruni. Stadion berstandar FIFA tipe C ini berkapasitas penonton kurang lebih 15.000 penonton.
Stadion yang akan diresmikan pada 2022 ini sudah siap untuk menggelar berbagai cabang olahraga tingkat nasional, baik sepakbola maupun atletik. Stadion yang sudah sering dipakai latihan sepakbola atau atletik ini belum ada klub sepakbola yang akan bermarkas di Stadion Gelora Geger Cilegon, termasuk Rans Cilegon FC.
Pada 15 Desember 2021, saat closing ceremony pengumuman juara sayembara yang digelar Dispora Cilegon, diumumkan namanya adalah Stadion Gelora Geger Cilegon. Pemerintah Kota Cilegon melalui Dinas Pemuda dan Olahraga menggelar lomba itu sejak 6-13 Desember 2021.
Nama ini dipilih dari 154 kontestan sayembara dengan tiga kali tahapan seleksi menjadi 39 dan 10 peserta. Ada lima besar yang masuk nominasi nama yakni Stadion Ronglikur, stadion Brigjend KH. Syamun, stadion Mandalakuta Baja Krakatoa, Stadion Gelora 1888 KH Wasyid, dan Stadion Gelora Geger Cilegon. Para juri di antaranya Walikota Cilegon Helldy Agustian, Ketua DPRD Kota Cilegon Isro Mi’raj, Deden Sunandar, Adam Luthfi, dan Ahdi Zukhrul Amri.
Pemilihan nama ini dikomentari Ketua DPRD Cilegon Isro Miraj, mudah dihafal. Selain mengingatkan pada kejadian penting di Cilegon.
Pencetus nama ini adalah Bambang Irawan yang memeroleh nilai tertinggi yakni 1,383 poin. Gelar juara berhak mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp 5 juta.
Bambang beralasan memberikan nama Stadion Geger Cilegon ini untuk mengajak serta mengingat kembali sejarah Geger Cilegon pada 1888. Pemberian nama itu terinspirasi dari kisah heroisme rakyat Cilegon saat melakukan perlawanan terhadap Belanda.
“Sepuluh tahun saya belajar dan mendalami sejarah Geger Cilegon. Itulah mengapa saya mempunyai ide untuk ikut sayembara pemberian nama ini,” kata Bambang.
Terkait pemberian nama ini, Walikota Cilegon Helldy Agustian membagikan video Stadion Seruni dengan menyebut stadion tersebut bernama Stadion Geger Cilegon.
“Stadion Geger Cilegon sudah dapat digunakan setelah diresmikan. Semoga ke depan dapat melahirkan atlet-atlet berprestasi yang dapat mengharumkan bangsa dan Cilegon khususnya,” tulis Helldy Agustian di akun Instagramnya.
Unggahan Helldy ini langsung diprotes netizen lantaran mengapa nama stadion berbeda dari nama hasil sayembara beberapa waktu lalu.
“Assalamualaikum. Mohon maaf Pak sebelumnya. Nama stadion ini pas pemenang sayembara itu kok namanya (Gelora Geger Cilegon) tapi kenapa skrg namanya jadi Stadion Geger Cilegon,” tanya pemilik akun @rharunaugust95.
Pertanyaan-pertanyaan serupa juga bermunculan, namun belum ada tanggapan.
Sekadar mengingat lagi, Geger Cilegon 1888 adalah peristiwa pemberontakan petani Banten pada 9 Juli 1888.
Antara 1882 dan 1884, rakyat Serang dan Anyer telah ditimpa dua malapetaka, yaitu kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Ini disebabkan kemarau berkepanjangan, tanaman tidak tumbuh.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial menginstruksikan membunuh semua ternak, termasuk binatang yang tidak terkena penyakit. Akibatnya, muncul kebencian rakyat terhadap pemerintah Belanda yang dianggap telah melakukan kekejian dan kesewenang-wenangan. Bagi petani, binatang ternak dianggap teman yang membantu pekerjaan mereka di sawah.
Jumlahnya yang sangat banyak membuat tidak semua ternak dapat dikubur, sehingga bangkainya ditemukan di mana-mana dan mengundang penyakit baru bagi rakyat. Sebanyak 120.000 orang terjangkit penyakit dan 40.000 di antaranya meninggal dunia.
Rakyat semakin sengsara saat Gunung Krakatau meletus pada 1883 dan menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter. Gelombang ini menghancurkan Anyer, Merak, dan Caringin dan merenggut kurang lebih 22.000 jiwa.
Keadaan semakin memburuk dengan Penerapan sistem perpajakan yang baru. Berbagai pajak dikenakan kepada penduduk, yaitu pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk.
Belum lagi, kecurangan pegawai pemungut pajak membuat rakyat semakin resah dan membenci penjajah. Akibat penderitaan tersebut, rakyat yang percaya takhayul mulai memberi sesajen di pohon kepuh besar yang dikeramatkan supaya permohonan mereka untuk memusnahkan segala macam bencana dapat terkabul.
Nah, aeorang ulama bernama Haji Wasid tidak ingin membiarkan kemusyrikan ini menebang pohon tersebut. Haji Wasid pun dibawa ke pengadilan kolonial pada 18 November 1887 dan didenda karena melanggar hak orang lain. Murid dan pengikut Haji Wasid semakin tersinggung saat mengetahui menara musala di Jombang Tengah dirubuhkan atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan mengganggu ketenangan masyarakat.
Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik, dan budaya inilah yang menyulut api perlawanan Geger Cilegon 1888. Sejak Februari hingga April 1888, para ulama dari Serang, Banten, dan Tangerang mulai mengadakan pertemuan. Mereka adalah Haji Marjuki, Haji Asnagari, Haji Iskak, Haji Wasid, dan Haji Ismail.
Pertemuan ini membahas ketersediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerak pengikut, serta pelatihan. Dan Pada 7 Juli 1888, diadakan pertemuan para kiai untuk persiapan terakhir pemberontakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Para kiai yang hadir adalah Haji Sa’is, Haji Sapiuddin, Haji Madani, Haji Halim, Haji Mahmud, Haji Iskak, Haji Muhammad Arsad, dan Haji Tubagus Kusen.
Agar Belanda tidak curiga, pertemuan dilaksanakan pada kenduri besar. Setelah lewat tengah malam, para kiai menghadiri pertemuan kedua di rumah Haji Iskak dan bertemu dengan Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail. Mereka memastikan bahwa pemberontakan dimulai pada 9 Juli 1888.
Pada 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan dari Jombang Wetan ke rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Mereka mengenakan pakaian putih dan membawa pedang serta tombak.
Pada malam harinya, dipimpin Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail mereka menuju Saneja, yang dijadikan pusat penyerangan. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman memimpin serangan dari arah selatan, sementara Haji Wasid, Haji Usman, Haji Abdul Gani, dan Haji Nuriman menyerang dari utara.
Pasukan dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan tugas masing-masing. Ada yang menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan, ada yang menyerbu kepatihan, dan ada yang menyerang rumah asisten residen.
Dalam keadaan kacau, beberapa orang yang tidak disenangi rakyat berhasil ditumpas Senin malam, 9 Juli 1888, serangan umum terhadap para pejabat pemerintah kolonial di Cilegon dimulai. Mereka adalah Henri Francois Dumas (juru tulis asisten residen), Raden Purwadiningrat (ajun kolektor), Johan Hendrik Hubert Gubbels (asisten residen Anyer), Mas Kramadireja (sipir penjaga Cilegon), dan Ulri Bachet (kepala penjualan garam).
Kekacauan tidak dapat diatasi Belanda dan Cilegon dapat dikuasai oleh para pemberontak. Namun, seorang pembantu rumah tangga Gubbels berhasil melarikan diri ke Serang dan melaporkan kejadian itu.
Menanggapi hal itu, Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon bersama 40 serdadu untuk memadamkan pemberontakan. Pada akhirnya, Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan 94 pemimpin perlawanan lainnya diasingkan.
Nah, begitulah seputar Geger Cilegon kisah heroik yang disematkan di stadion megah di Cilegon. Semoga namanya semakin terpatri dalam mengingat kejadian yang sangat berpengaruh terhadap Cilegon dan sekitarnya sampai hari ini. (Hilal)