Banten Lama, Pesona Wisata Ziarah yang Selalu Berbenah

BISNISBANTEN.COM – Bagi yang pernah atau sering berkunjung ke kawasan Masjid Agung Banten Lama pasti sudah akrab dengan suasananya. Bagi yang belum, ini dia saatnya mencari tahu apa sih alasan orang-orang dari dalam bahkan luar daerah berbondong-bondong berziarah ke sini.
Ikon dari kawasan peziarahan Banten Lama tentu saja Masjid Agung Banten. Salah satu masjid tertua di Indonesia yang memiliki nilai sejarah ini dibangun pertama kali pada 1556 oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama dari Kesultanan Banten. Sang sultan merupakan putra pertama dari Sunan Gunung Jati.
Masjid yang berada di Desa Banten Lama, tepatnya di Desa Banten, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang ini setiap harinya tidak pernah sepi dari peziarah. Di kawasan masjid yang mudah dikenali dari bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk mercusuar ini terdapat makam keluarga dari Sultan Maulana Hasanudin. Berada di sebelah utara Masjid Agung Banten.
Selain makam Sultan Maulana Hasanudin dan istrinya, di sini juga terdapat beberapa makam lain yang paling sering diziarahi. Yaitu makam Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.
Salah satu kekhasan masjid yang menjadi salah satu bukti kejayaan kota pelabuhan Banten ini adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda Tiongkok yang juga merupakan karya arsitek Tionghoa bernama Tjek Ban Tjut. Jumlah tersebut merujuk pada lima waktu salat; Shubuh, Dzuhur, Ashar, Magrhib, dan Isya. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.
Masjid Agung Banten juga memiliki paviliun tambahan di sisi selatan bangunan inti masjid ini. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno, bangunan ini dirancang arsitek Belanda bernama Hendick Lucasz Cardeel.
Pintu-pintu di sini sengaja dibuat rendah, memaksa umat menundukkan kepala. Hal ini sebagai perlambang untuk tunduk dan tidak menyombongkan diri di hadapan Allah SWT.
Sementara menara yang menjadi ciri khas berada di sebelah timur masjid, terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten sejak masa lampau.
Untuk mencapai puncak menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati satu orang. Pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai dapat terlihat di atas menara, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Dari ketinggian ini juga bisa melihat lanskap sebagian wilayah Banten, mulai dari pesawahan, pegunungan, dan lautan. Luar biasa.
Selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, saat itu menara yang dibuat Hendick Lucasz Cardeel ini digunakan sebagai tempat menyimpan senjata.
Masjid legendaris ini ternyata dirancang tiga arsitek sekaligus ya. Mereka adalah Raden Sepat dari Majapahit, Tjek Ban Tjut dari Tiongkok, serta Hendrik Lucaz Cardeel dari Belanda. Ban Tjut bahkam diberi gelar Pangeran Adiguna, sementara Cardeel mendapat sebutan Pangeran Wiraguna.
Meski keadaannya tidak seperti pada saat didirikan, namun kondisinya tetap terpelihara dengan baik. Selama berdiri dari 1923 hingga 1987, masjid yang saat ini dikelola yayasan di bawah pimpinan H Tubagus Wasi Abbas mengalami delapan kali pemugaran. Pada 1923 dipugar Dinas Purbakala dan pada 1930 dilakukan penggantian tiang-tiang kayu yang rapuh. Pada 1945, Tubagus Chotib selaku Residen Banten bersama masyarakat memperbaiki atap cungkup penghubung di kompleks pemakaman utara.
Pemugaran juga dilakukan pada 1966/1967 oleh Dinas Purbakala. Pada 1969 Korem 064 Maulana Yusuf memperbaiki bagian eternit langit-langit. Serambi bagian timur dipugar pada t1970 dengan dana dari Yayasan Qur’an. Pertamina juga pernah memugar kompleks masjid pada bagian lantai ruang utara, atap serambi pemakaman selatan, bak wudu dan keran air di serambi utara, juga pagar tembok keliling kompleks dengan lima gapura. Penggantian serambi utara dan penggantian cungkup makam Sultan Hasanuddin dengan marmer dilakukan pada 1987.
Pemugaran ini terus dilakukan sampai sekarang. Selain untuk membuat masjid kelihatan lebih indah dan teratur, renovasi ini juga merupakan salah satu upaya pengelola menarik minat generasi milenial. Para wisatawan muda ini diharapkan tertarik singgah untuk beribadah, sekaligus mempelajari situs bersejarah peninggalan Kesultanan Banten ini.
Bangunan masjid yang padukan budaya Hindu-Jawa, Eropa, dan Tiongkok ini saat ini tampak makin indah lagi dengan kehadiran payung-payung besar, mirip seperti yang ada di Masjid Nabawi di Madinah. Jika sebelumnya kawasan masjid dihuni pedagang kaki lima dan dibiarkan beralas tanah, saat ini para pedagang sudah direlokasi dan area ini sudah dilantai dan dilapisi marmer mewah dan rapi. Sehingga nampak lebih rapi dan membuat para peziarah betah berlama-lama di sini.
Eksotisme kawasan Banten Lama pun lebih memancar, karena jalur menuju ke peziarahan sudah sangat tertata. Di sisi jalur sungai dibuat taman-taman dengan disediakan kursi-kursi. Keraton Surosowan pun dibuat lebih cantik dengan tag map Keraton Surosowan sebagai spot foto yang instagramable.
Banten Lama saat ini jauh lebih tertata dan meninggalkan kesan kumuh yang selama ini melekat erat. Sebagai kawasan wisata religi unggulan Banten yang selalu dikunjungi wisatawan dari berbagai penjuru Indonesia, sudah saatnya menjadi kebanggaan. Bukan begitu? (Hilal)