Gizi Buruk di Kota Serang Banten
Nurce Arifiati Mahasiswa program Doktoral Fakultas Imu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin Makasar
BISNISBANTEN.COM — Salah satu tantangan serius bagi bangsa Indonesia adalah masalah gizi buruk, meskipun negara ini telah mengalami berbagai kemajuan dalam bidang ekonomi dan pembangunan. Gizi buruk, terutama dalam bentuk stunting (anak pendek akibat malnutrisi kronis), tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga memengaruhi perkembangan ekonomi dan sosial secara luas. Kondisi ini dapat menghambat potensi generasi muda yang akan menjadi pilar masa depan bangsa. Angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 21,6% berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, walaupun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 24,4% tahun 2021, namun masih perlu upaya besar untuk mencapai target penurunan stunting pada tahun 2024 sebesar 14%.
Gizi buruk Juga menjadi masalah serius di Provinsi Banten, yang mencerminkan kesenjangan sosial-ekonomi dan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang optimal. Meski pemerintah provinsi dan berbagai pihak telah melakukan upaya penanganan, seperti Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan penanggulangan stunting, hasilnya masih belum sepenuhnya memuaskan. Berdasarkan grafik tren angka prevalensi Stunting di Provinsi Banten , Prevalensi Stunting di Provinsi Banten menurun dari 24,5% pada tahun 2021 menjadi 20,0% pada tahun 2022. Ini menunjukkan adanya perbaikan dalam upaya pencegahan dan penanganan Stunting di provinsi tersebut. Namun, pada tahun 2023, prevalensi Stunting kembali meningkat menjadi 24,0%. Hal ini mengindikasikan perlunya evaluasi dan penguatan strategi intervensi agar penurunan Stunting dapat berlanjut secara konsisten. Grafik menunjukkan pola tren prevalensi Stunting yang fluktuatif, dengan penurunan yang terjadi pada tahun 2022, diikuti oleh peningkatan kembali di tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan dalam mengatasi Stunting di Provinsi Banten masih cukup besar. Meskipun terjadi perbaikan pada tahun 2022, namun angka prevalensi Stunting di Provinsi Banten masih cukup tinggi, yaitu mencapai 20%. Salah satu wilayah di Propimsi Banten yang prevalensi kejadian stuntingnya cukup tinggi adalah Kota serang. Menurut Hasil Survei Status Gizi Indonesia tahun 2021 dan 2022 serta Hasil Survei Kesehatan Indonesia Tahun 2023 Prevalensi Kejadian stunting di Kota Serang Tahun 2021 sebanyak 23,4 %, meningkat menjadi 23.8% di tahun 2023 dan mengalami penurunan 22,3% di tahun 2023, angka ini masih jauh dari target Propinsi Banten yaitu penurunan stunting di Tahun 2024 sebanyak 12%.
Meskipun kota ini berada di dekat pusat-pusat ekonomi nasional seperti Jakarta, tantangan gizi buruk tetap menghantui masyarakat, terutama di kalangan keluarga berpenghasilan rendah.
Salah satu penyebab utama gizi buruk di Kota Serang adalah kurangnya akses terhadap pangan bergizi. Harga bahan pangan yang cenderung naik, ditambah dengan keterbatasan pendapatan keluarga, membuat banyak masyarakat kesulitan untuk menyediakan makanan yang kaya nutrisi bagi anak-anak mereka. Dalam beberapa kasus, pola makan yang hanya mengandalkan karbohidrat, seperti nasi dan mie instan, mendominasi asupan harian, sedangkan kebutuhan protein, vitamin, dan mineral sering diabaikan. Ini dapat memicu malnutrisi kronis yang berujung pada gizi buruk.
Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya gizi seimbang juga menjadi faktor signifikan. Banyak keluarga belum sepenuhnya memahami bagaimana memilih dan mengolah makanan yang bernutrisi dengan baik. Edukasi kesehatan yang belum merata, terutama di tingkat pedesaan atau kawasan kumuh, memperparah kondisi ini. Anak-anak yang tumbuh dalam situasi ini memiliki risiko tinggi mengalami stunting (pendek), yang berdampak buruk pada perkembangan fisik dan kognitif mereka.
Pemerintah daerah Kota Serang dan lembaga kesehatan telah melakukan berbagai upaya, seperti program pemberian makanan tambahan dan penyuluhan gizi, namun keberhasilannya seringkali terbentur oleh keterbatasan sumber daya serta rendahnya partisipasi aktif masyarakat. Diperlukan pendekatan yang lebih terpadu dan berkelanjutan, baik dari sisi kebijakan maupun sosial. Misalnya, peningkatan akses pada pangan terjangkau, program peningkatan pendapatan keluarga, serta kampanye intensif tentang pentingnya gizi seimbang.
Secara keseluruhan, gizi buruk di Kota Serang tidak hanya menjadi masalah kesehatan, tetapi juga masalah sosial-ekonomi yang kompleks. Solusi untuk mengatasinya memerlukan kolaborasi berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat itu sendiri. Peningkatan kesadaran, akses terhadap pangan bergizi, dan perbaikan kondisi ekonomi keluarga merupakan kunci untuk memastikan bahwa setiap anak di Kota Serang dapat tumbuh dengan sehat dan optimal.
Penulis
NURCE ARIFIATI
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin Makasar